Jumat, 26 September 2008

RUU Pornografi Menimbulkan Delik Pidana Yang Sulit Diperhitungkan

PEMBATASAN-PEMBATASAN NEGARA
DALAM RUANG PRIVAT
Tinjauan Yuridis Rancangan Undang-Undang
Pornografi
- Vera W Soemarwi -

I. Pendahuluan

Keresahan sebagian masyarakat akan meningkatnya tingkat kejahatan a-susila dewasa ini disebabkan oleh maraknya tayangan-tayangan pornografi dan pornoaksi diberbagai media yang sangat mudah dapat diperoleh. Keresahan sebagaian masyarakat ini kemudian direspon oleh pemerintah dengan memberikan sebuah solusi yang tidak tepat yaitu dengan merancang sebuah undang-undang tentang Pornografi. Kami memandang berbagai kelemahan dalam rancangan undang-undang pornografi.

II. Tanggapan Umum RUU Pornografi:

a. hak mengembangkan seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya sebagaimana diatur dalam pasal 28 huruf C ayat (1) UUD’45 telah dipasung oleh pemerintah melalui berbagai cara salah satunya yaitu RUU Pornografi;
b. hak kemerdekaan pikiran yang merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan diatur dalam pasal 28 huruf I ayat (1) telah dirampas oleh Pemerintah dengan prinsip-prinsip penilaian secara subyektif terhadap hasil buah pikir warganya;
c. indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional yang dilindungi oleh Negara melalui pasal 28 huruf I ayat (3) UUD’45 akan dicabut oleh RUU Pornografi dan digantikan dengan tindakan mengkriminalisasikan secara legalistic oleh pemerintah;
d. Negara telah merampas “hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” sebagaimana dilindungi dalam pasal 28 huruf F UUD’45 justru dijadikan dasar hukum pembentukan RUU Pornografi. Dasar hukum yang digunakan dalam RUU ini akan membuktikan bahwa tindakan pemerintah yang tidak professional dan melanggar azas-azas pemerintahan yang baik;
e. definisi yang tidak jelas, mengaburkan batas antara pornografi sendiri dengan erotika dan kecabulan;
f. definisi tentang media tidak jelas, selain itu unsur publikasi sebagai syarat pornografi berimplikasi bahwa pornografi yang tidak dipublikasikan adalah bukan termasuk pornografi dalam RUU ini;
g. kriminalisasi terhadap korban, tanpa melihat konteks sosial ekonomi dimana perempuan dan anak rentan terjerat menjadi objek pornografi (dalam arus traficking);
h. RUU pornografi juga tidak membahas pornografi sebagai isu kekerasan terhadap perempuan;
i. barang-barang pornografi yang terbatas;
j. karya seni yang dibatasi hanya bisa disaksikan pada ruang yang sangat terbatas yaitu di tempat pertunjukkan seni; dan
k. delik/sanksi tidak sensitive terhadap korban.


III. Tanggapan Pada Pertimbangan:

1. pada konsideran huruf a sampai e tidak mempunyai dasar hukum yang tepat;
2. dasar hukum tidak tepat;
i. pasal 28 F UUD’45 yang mengatur mengenai “hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” justru bertentangan dengan RUU ini dari pasal 1 sampai dengan pasal 90.
ii. pasal 29 UUD’45 tidak menegaskan bahwa Negara harus tunduk pada aturan-aturan agama tertentu dan melindungi kepentingan satu agama tertentu. Batasan-batasan antara norma agama yang satu dengan batasan-batasan antara norma agama yang lain berbeda, Negara tidak bisa membentuk sebuah rancangan undang-undang seperti RUU ini hanya mempertimbangkan batasan-batasan norma-norma agama tertentu.
IV. Sudah ada undang-undang yang mengatur mengenai pornografi sehingga RUU Pornografi tidak diperlukan;
1. jika pornografi muncul di media, bisa menggunakan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers atau
2. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam salah satu ketentuan di dalam UU No. 32 Tahun 2002 mengatur bahwa lembaga penyiaran harus menjunjung tinggi nilai-nilai agama, moral dan kesusilaan.
3. jika ada di sinetron atau film, bisa menggunakan UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Disamping itu, KUHP juga bisa digunakan.
4. Pasal 281 KUHP mengenai kejahatan terhadap kesusilaan dan pasal 282 KUHP menyebutkan larangan menyebarkan sesuatu yang membangkitkan birahi remaja..
5. jika mengenai pornoaksi, pornografi ataupun kejahatan kesusilaan, sebenarnya telah relatif terperinci diatur dalam RUU KUHP. Paling tidak ada 24 pasal dalam RUU KUHP, mulai dari Pasal 411 hingga Pasal 435 di bawah Bab XV tentang Tindak Pidana Kesusilaan, yang mengatur hal tersebut.

Bahwa berdasarkan pada fakta-fakta diatas maka kami menolak RUU Pornografi.

Tidak ada komentar: