Rabu, 17 Desember 2008

Peran Gereja Katolik Dalam Penanggulangan Kemiskinan

Indonesian Catholic
Partner in eradicating poverty
Vera Wenny Soemarwi

1. Introduction
Right after the Independence war and after the proclamation of the Republic of Indonesia, the Indonesian Catholics, from December 7 -12, 1949 held the first national meeting in Yogyakarta, the capital city of the new republic. In this first national meeting, known as Kongress Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) – All Indonesian Catholics Congress, there was a strong awareness that after the termination of the Dutch colony, our new common enemy was poverty.

In many ways the Catholics tried to struggle against poverty in every kind of forms. Since the beginning, in every hart of a believer has been planted a vocation that helping those who are in need is a worship; it is called social worship. Helping the poor is an expression of loving Jesus Christ, who loved the poor in such a way that He identified Himself with the poor, the least, as said “‘I tell you the truth, whatever you did for one of the least of these brothers of mine, you did for me” (Matthew 25:40).

Going to church and praying are expressions of faith but helping those who are in need, regardless their religious and ethnic back ground, is an actualization of faith; both are complementary.

2. The Option for the Poor
The Roman Catholic involvement especially in Indonesia in spirit of option to the poor based on at belief in God that all lives of Jesus is devoted to impecunious and maltreated people.
So that you could share your bread for starving one who and bring to your home the poor that has no house and if you see naked people, so that you give him/her clothes and not hide out to your brother by it self. (Isaiah 58:7)
Jesus answered: "If you want to be perfect, go, sell all your possessions and give to the poor, and you will have treasure in Heaven. Then come, follow Me." (Matthew 19:21)
As it is written: "He has scattered abroad his gift to the poor; his righteousness endures forever." (Corinthian 9:9)

The Role of Indonesian Catholic in Eradicating Poverty

Indonesian Catholic
Partner in eradicating poverty
Vera Wenny Soemarwi

1. Introduction
Right after the Independence war and after the proclamation of the Republic of Indonesia, the Indonesian Catholics, from December 7 -12, 1949 held the first national meeting in Yogyakarta, the capital city of the new republic. In this first national meeting, known as Kongress Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) – All Indonesian Catholics Congress, there was a strong awareness that after the termination of the Dutch colony, our new common enemy was poverty.

In many ways the Catholics tried to struggle against poverty in every kind of forms. Since the beginning, in every hart of a believer has been planted a vocation that helping those who are in need is a worship; it is called social worship. Helping the poor is an expression of loving Jesus Christ, who loved the poor in such a way that He identified Himself with the poor, the least, as said “‘I tell you the truth, whatever you did for one of the least of these brothers of mine, you did for me” (Matthew 25:40).

Going to church and praying are expressions of faith but helping those who are in need, regardless their religious and ethnic back ground, is an actualization of faith; both are complementary.

2. The Option for the Poor
The Roman Catholic involvement especially in Indonesia in spirit of option to the poor based on at belief in God that all lives of Jesus is devoted to impecunious and maltreated people.
So that you could share your bread for starving one who and bring to your home the poor that has no house and if you see naked people, so that you give him/her clothes and not hide out to your brother by it self. (Isaiah 58:7)

Jesus answered: "If you want to be perfect, go, sell all your possessions and give to the poor, and you will have treasure in Heaven. Then come, follow Me." (Matthew 19:21)
As it is written: "He has scattered abroad his gift to the poor; his righteousness endures forever." (Corinthian 9:9)

Catatan Perjalanan Dialog Antar Agama dan Sosialisasi PBM di Manokwari, Papua Barat

Catatan Perjalanan Dialog Antar Agama dan Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri & Menteri Agama No 9 dan 8 Thn 2006 di Provinsi Papua Barat, Kabupaten Manokwari
I. Sekilas Informasi Pemerintahan Daerah Papua Barat[i]

SEJARAH PEMERINTAHAN

Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Serta mendapat dukungan dari SK DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 10 Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi tiga provinsi. Setelah dipromulgasikan pada tanggal 1 Oktober 1999 oleh Presiden B.J. Habibie, rencana pemekaran provinsimenjadi tiga ditolak warga papua di Jayapura dengan demonstrasi akbar pada tanggal 14 Oktober 1999. Sejak saat itu pemekaran provinsi ditangguhkan, sementara pemekaran kabupaten tetap dilaksanakan sesuai UU Nomor 45 Tahun 1999.

Pada tahun 2002, atas permintaan masyarakat Irian Jaya Barat yang diwakili Tim 315. Pemekaran Irian Jaya Barat kembali diaktifkan berdasarkan Inpres Nomor I Tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 27 Januari 2003. Sejak saat itu, Provinsi Irian Jaya Barat perlahan membentuk dirinya menjadi provinsi definitif. Dalam perjalanannya, Provinsi Irian Jaya Barat mendapat tekanan keras dari induknya Provinsi Papua, hingga ke Mahkamah Konstitusi melalui uji materiil. Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan UU Nomor 45 Tahun 1999 yang menjadi payung hukum Provinsi Irian Jaya Barat. Namun Provinsi Irian Jaya Barat tetap diakui keberadaannya.

Setelah itu, Provinsi Irian Jaya terus diperlengkapi sistem pemerintahannya, walaupun di sisi lain payung hukumnya telah dibatalkan. Setelah memiliki wilayah yang jelas, penduduk, aparatur pemerintahan, anggaran, anggota DPRD, akhirnya Provinsi Irian Jaya Barat menjadi penuh ketika memiliki gurbernur dan wakil gurbernur definitif Abraham O. Atururi dan Drs. Rahimin Katjong, M.Ed yang dilantik pada tanggal 24 Juli 2006. Sejak saat itu, pertentangan selama lebih dari 6 tahun sejak UU Nomor 45 Tahun 1999 dikumandangkan, dan pertentangan sengit selama 3 tahun sejak Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dikeluarkan berakhir dan Provinsi Irian Jaya Barat mulai membangun dirinya secara sah.

Keterlibatan Perempuan Indonesia Dalam Politik NKRI

Keterlibatan Perempuan Indonesia Dalam Politik NKRIVera Wenny Soemarwi

I. Pendahuluan
Dewasa ini, realitas sosial, budaya, dan agama bangsa Indonesia sangat mempengaruhi sistem politik kita sehingga menghambat perempuan dalam beraktifitas di bidang sosial politik yang lebih luas. Ajaran agama yang sering digunakan untuk mendukung pembatasan-pembatasan hak-hak perempuan telah digunakan oleh sebagian besar partai politik agar perempuan tidak dapat memperjuangkan hak-hak sipil dan politiknya secara optimal. Peluang yang diberikan kepada perempuan cenderung hanya di bidang domestik atau sektor-sektor informal saja. Ajaran-ajaran agama tertentu ini yang terkadang tanpa disadari telah melandasi terbentuknya tindakan diskriminatif yang diterima oleh perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan ini dilakukan secara struktural, kultural dan sistematis. Maka upaya-upaya untuk memperkuat posisi tawar perempuan ini harus diperjuangkan baik melalui peraturan perundang-undangannya dan didukung dengan perubahan dalam sistem perekrutan dan pengkaderan di partai politik.

Konstitusi memberikan perlindungan kepada setiap orang khususnya perempuan terhadap perlakuan diskriminatif yang diatur dalam pasal 28 I ayat (2) “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Bila negara konsisten dalam menjamin hak-hak konstitusi setiap warga negaranya, maka negara akan memperkecil segala kemungkinan tindakan diskriminatif terhadap perempuan baik secara struktural, kultural dan sistematis. Jaminan hak-hak konstitusi ini dapat diberikan dengan mengubah peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, segala peraturan internal partai politik seperti AD/ART partai politik yang tidak mendukung keterlibatan perempuan dalam pemenuhan hak-hak sipil dan politiknya serta membangun sistem perlindungan yang menyeluruh terhadap perempuan.
Lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia adalah perempuan. Dari jumlah tersebut, perempuan yang terlibat sebagai pengurus partai politik, dalam eksekutif, serta duduk di kursi DPR-RI dan DPRD, relatif sangat sedikit. Padahal partai politik merupakan salah satu penghubung antara warga negara dengan negara. DPR-RI adalah lembaga legislatif yang menentukan arah kebijakan negara serta merumuskan peraturan perundang-undangan. Sehingga aspirasi perempuan tidak tercermin dalam setiap proses pengambilan keputusan dan produk perundang-undangan yang dihasilkan dalam DPR-RI. Realitas ini merupakan sebuah tindakan sistematis yang dilakukan oleh partai politik dalam menghambat keterlibatan perempuan dalam pemenuhan hak-hak sipil dan politiknya.

Senin, 29 September 2008

Peran Aktif Warga dan Pemerintah untuk Mengelola Konflik Yang Belum Diatur Dalam UU No. 24/2007 ttg Bencana Sosial

KERAWANAN DAN KONFLIK SOSIAL
dan PERAN ORGANISASI MASYARAKAT



Tinjauan Umum UU No. 24/2007 tentang Bencana Sosial

Definisi Bencana
Di dalam UU No. 24/2007 definisi tentang Bencana sangat luas mencakup bencana alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia. Bencana karena faktor manusia dikategorikan sebagai Bencana Sosial. Definisi Bencana Sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror. Sedangkan definisi Rawan Bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.

Adanya inkonsistensi didalam pengaturan definisi bencana sosial dengan rawan bencana di dalam UU No. 24/2007. Inkonsistensi definisi itu ada pada penyebab bencana sosial yaitu konflik sosial antar kelompok atau komunitas masyarakat dan teror sedangkan beberapa bidang yang dapat dikategorikan sebagai penyebab bencana atau rawan bencana adalah potensi konflik pada bidang sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Melihat pada beberapa peristiwa kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia seperti konflik di Ambon, Pasuruan, Papua, Timor-Timur, Aceh, Poso-Palu, Sampit, Sampang, Tragedi Mei 1998, G30S-PKI, dll; secara jelas digambarkan bahwa penyebab konflik atau akar persoalan adalah: konflik sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama.

Peran Aktif Warga dan Pemerintah untuk Mengelola Konflik Yang Belum Diatur Dalam UU No. 24/2007 ttg Bencana Sosial

KERAWANAN DAN KONFLIK SOSIAL
dan PERAN ORGANISASI MASYARAKAT


Tinjauan Umum UU No. 24/2007 tentang Bencana Sosial

Definisi Bencana

Di dalam UU No. 24/2007 definisi tentang Bencana sangat luas mencakup bencana alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia. Bencana karena faktor manusia dikategorikan sebagai Bencana Sosial. Definisi Bencana Sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror. Sedangkan definisi Rawan Bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.

Adanya inkonsistensi didalam pengaturan definisi bencana sosial dengan rawan bencana di dalam UU No. 24/2007. Inkonsistensi definisi itu ada pada penyebab bencana sosial yaitu konflik sosial antar kelompok atau komunitas masyarakat dan teror sedangkan beberapa bidang yang dapat dikategorikan sebagai penyebab bencana atau rawan bencana adalah potensi konflik pada bidang sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Melihat pada beberapa peristiwa kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia seperti konflik di Ambon, Pasuruan, Papua, Timor-Timur, Aceh, Poso-Palu, Sampit, Sampang, Tragedi Mei 1998, G30S-PKI, dll; secara jelas digambarkan bahwa penyebab konflik atau akar persoalan adalah: konflik sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama.

Tata Cara Penanggulangan Bencana

UU No. 24/2007 telah mengatur penyelenggaraan penanggulangan bencana yang terdiri dari 3 tahap yaitu: prabencana; saat tanggap darurat; dan pascabencana. Didalam penanganan konflik baik pra-konflik; pada saat konflik; dan pasca-konflik tidak dapat menggunakan tata cara penanggulangan bencana sebagaimana diatur dalam UU No. 24/2007. Menurut pendapat saya sebelum kita menentukan tata cara penanggulangan konflik, terlebih dahulu yang harus kita lakukan adalah mencari akar persoalan dan penyebab terjadinya konflik, setelah itu baru kita menentukan bagaimana cara penanggulangan dan penyelesaian konflik sesuai dengan kondisi budaya, politik, agama, dan sosial di daerah tersebut.

Penanggungjawab Penanggulangan Bencana

Yang bertanggungjawab untuk melakukan kegiatan penanggulangan bencana adalah Pemerintah bersama-sama dengan Pemerintah Daerah sebagai penanggungjawab utama/primer sedangkan masyarakat serta organisasi masyarakat sebagai pihak yang membantu dan mendukung Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pemerintah tidak bisa mengabaikan tanggungjawabnya dalam memberikan perlindungan dan jaminan sosial serta rasa aman terhadap para warga negaranya; serta pemenuhan akan hak sosial, ekonomi, politik, budaya, dan beragama.

Urgensi RUU Penanganan & Pencegahan Konflik

Di tinjau dari beberapa perbedaan karakteristik setiap bencana serta kompleksitas persoalan dari konflik itu sendiri, maka cara pencegahan, penanggulangan, maupun pemulihannya haruslah berbeda. Dalam penanganan dan pencegahan konflik peran aktif dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah sangat diperlukan.
Beberapa hal yang perlu untuk diatur di dalam RUU Penanganan & Pencegahan Konflik adalah;
1. tanggungjawab Negara (Pemerintah dan Pemerintah Daerah) dalam pra-konflik, saat terjadinya konflik, maupun pasca-konflik termasuk mencari akar persoalan yang menyebabkan terjadinya konflik. Mengungkapkan hasil temuan di lapangan mengenai hal-hal yang menjadi penyebab konflik serta siapa para pelaku konflik.
2. memberikan jaminan sosial dan jaminan rasa aman terhadap para korban, para pekerja sosial kemanusiaan, dan para pekerja human rights defender.
3. tanpa harus menunggu proses hukum dan pembuktian lainnya, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib untuk memberikan ganti rugi serta merehabilitasi para korban.
4. memfasilitasi masyarakat dan organisasi masyarakat dalam terlibat aktif untuk penanganan dan pencegahan serta pengungkapan fakta-fakta yang menyebabkan terjadinya konflik.
5. dalam resolusi konflik tidak boleh melupakan tanggungjawab moral maupun tanggungjawab hukum dari para pelaku tanpa melihat status, jabatan, dan pangkat.
6. upaya rekonsiliasi harus diikuti dengan pengungkapan kebenaran dan menegakkan keadilan di hadapan hukum bagi para pelaku, dengan demikian Negara telah memperhatikan rasa keadilan bagi korban.

Alasan pemilihan judul RUU Penanganan dan Pencegahan Konflik

Tragedi kekerasan yang terjadi secara beruntun dan terus menerus tanpa henti memaksa kita agar Negara membuat Undang-Undang untuk menangani konflik dan mencegah konflik. Upaya pemerintah dalam menangani konflik terus diupayakan oleh Pemerintah tetapi belum menuaikan hasil yang berarti bagi kita semua, oleh karena itu saya menimbang dalam menangani konflik tanpa ada tindakan pencegahan, bangsa ini akan selalu dilanda konflik yang berkepanjangan. Bila konflik sudah dapat di ketahui sejak dini dengan upaya pemetaan potensi-potensi konflik, maka Pemerintah dapat mengupayakan tindakan-tindakan pencegahan.

Jakarta, 28 Juli 2007


Vera Wenny Soemarwi

Perlukan Indonesia sebuah Undang-Undang Pendidikan yang Mengatur Mengenai Badan Hukumnya?

YAYASAN PENDIDIKAN VERSUS BADAN HUKUM PENDIDIKAN
Vera Wenny Soemarwi

Konsep Pemerintah tentang management berbasis sekolah/madrasah dan otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal yang terlalu dipaksakan diatur dalam draft Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) khususnya rancangan tertanggal 7 November 2007 masih sangat lemah. Mengapa saya katakan konsep pemerintah itu lemah? Karena RUU BHP ini yang mengatur tentang management berbasis sekolah dan otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal bila diimplementasikan akan bertentangan dengan UUD 1945 dan UU lainnya khususnya UU tentang Yayasan. Bahkan yang lebih parah lagi RUU BHP ini telah menyimpang dari dasar hukum pembentukannya yaitu UU tentang Sisdiknas.

Apakah draft RUU BHP tertanggal 7 November 2007 sudah sesuai dengan amanat UU No. 20 tahun 2003?
Pertama, draft RUU BHP ini tidak membedakan antara penyelenggara dan satuan pendidikan formal. Maka di dalam RUU BHP ini baik penyelenggara maupun satuan pendidikan formal diwajibkan untuk membentuk BHP. Sedangkan dalam Pasal 53 UU No. 20/2003 salah satu atau keduanya dapat membentuk BHP. Bisa penyelenggaranya saja yang membentuk BHP atau satuan pendidikannya saja yang membentuk BHP atau keduanya baik penyelenggaranya maupun satuan pendidikannya bersama-sama dapat membentuk BHP. UU No. 20/2003 memberikan keleluasaan kepada salah satunya baik penyelenggara atau satuan pendidikan untuk membentuk BHP.

Kedua, UU No. 20/2003 mengatakan bahwa pendiri satuan pendidikan yang diwajibkan untuk membentuk BHP adalah Pemerintah atau masyarakat. Salah satu dari pendiri satuan pendidikan yaitu Pemerintah atau masyarakat yang diwajibkan untuk membentuk BHP. UU itu tidak mewajibkan keduanya untuk membentuk BHP. UU itu lebih mewajibkan kepada Pemerintah untuk membentuk BHP sedangkan masyarakat mempunyai pilihan apakah akan membentuk BHP atau tidak.
Tinjauan yuridis RUU BHP ini mengatakan bahwa penyelenggara pendidikan adalah Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dan seluruhnya dianggap sebagai pendiri BHP yang diwajibkan oleh RUU ini untuk mendirikan BHPP (Badan Hukum Pendidikan Pemerintah), BHPD (Badan Hukum Pemerintah Daerah), dan BHPM (Badan Hukum Pendidikan Masyarakat).

Ketiga, yang dimaksud dengan Pemerintah (dengan penulisan huruf P dengan huruf besar) menurut UU No. 20/2003 pasal 1 nomor 28 jo UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 nomor 1 adalah Pemerintah Pusat (Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sesuai dengan UUD 1945). Satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah wajib untuk membentuk BHP. Sedangkan UU No. 20/2003 pasal 53 tidak mewajibkan pemerintah daerah untuk membentuk BHP. Dengan demikian mengapa draft RUU BHP versi 7 November 2007 mewajibkan pemerintah daerah untuk membentuk BHP? Rumusan draft RUU BHP ini yang mewajibkan pemerintah daerah dan masyarakat untuk membentuk BHP jelas bertentangan dengan dasar hukum pembentuk RUU BHP ini yaitu UU No. 20/2003.
Pendapat ini dipertegas dengan PP No. 25/2000 (tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom) pasal 2 ayat (3) untuk bidang pendidikan dan kebudayaan, Pemerintah (Pusat) mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengembangkan khususnya untuk pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh dan sekolah international. Maka untuk pendidikan tinggi yang didirikan oleh Pemerintah diwajibkan untuk membentuk BHP sedangkan masyarakat yang mempunyai satuan pendidikan tinggi dapat membentuk BHP bila Pemerintah menentukan demikian. Pemerintah sebagai pendiri pendidikan tinggi lebih mempunyai kewajiban yang mutlak untuk membentuk BHP sedangkan pendidikan tinggi yang didirikan oleh masyarakat tidak diwajibkan untuk membentuk BHP. Dasar pemikiran tersebut berdasar pada UU No. 20/2003 jo PP No. 25/2000 yang tidak secara tegas mengatur mengenai kewajiban masyarakat untuk mendirikan BHP untuk pendidikan tinggi.

Hubungan Kerja Forum Kerukunan Umat Bergama dengan Lembaga lain di Daerah

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) adalah sebuah forum antar umat beragama yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. FKUB ini berkedudukan di provinsi dan di kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Forum ini merupakan forum yang independent. FKUB bersifat independent artinya baik lembaga FKUB maupun anggota-anggota FKUB tidak terafiliasi kepada salah satu partai politik, bukan pegawai negeri aktif, bukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Daerah, maupun Dewan Perwakilan Rakyat, bukan anggota militer aktif, bukan anggota polisi aktif, dan bukan pejabat pemerintah.
Posisi Dewan Penasehat FKUB berada di luar struktur organisasi FKUB. FKUB hanya mempunyai hubungan konsultatif dengan Dewan Penasehat FKUB. Pola hubungan FKUB dengan Dewan Penasehat FKUB merupakan dua struktur organisasi yang terpisah meskipun kedua lembaga FKUB dengan Dewan Penasehat FKUB mempunyai hubungan kemitraan (lihat Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab III No. 18 tentang Forum Kerukunan Umat Beragama).
Sebaiknya selalu diupayakan agar FKUB mandiri dari campur tangan Dewan Penasehat baik dalam aktifitas FKUB sehari-hari maupun dalam setiap pengambilan keputusan-keputusan penting dalam FKUB.
FKUB dapat membina hubungan baik dengan organisasi masyarakat yang memiliki perhatian terhadap kebebasan beragama maupun organisasi masyarakat keagamaan lainnya.
Rakornas FKUB yang diselenggarakan di Bandung pada tanggal 7 dan 8 Agustus 2008 telah menghasilkan sebuah rancangan mengenai hubungan kerja FKUB dengan Dewan Penasehat, Pemerintah Daerah, LSM, dan majelis agama di daerah tersebut. Beberapa rancangan itu khususnya mengenai hubungan Dewan Penasehat dengan FKUB menggambarkan hubungan kerja yang melebihi dari hubungan konsultative. Bila hubungan antara FKUB dengan Dewan Penasehat melebihi dari hubungan consultative dikawatirkan FKUB akan kehilangan independensinya dalam menentukan kehidupan beragama diwilayah tersebut dan agama dikawatirkan akan dijadikan komoditi politik.



RANCANGAN RUMUSAN KOMISI B
HUBUNGAN KERJA FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
RAKOR FKUB SE INDONESIA, BANDUNG 6 S/D 8 AGUSTUS 2008



Pendahuluan
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) adalah forum yang dibemtuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam membangun, dan memelihara, memberdaayakan umet beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan, FKUB bersifat independen dalam menetapkan kebijakan melalui musyawarah dan mufakat. Namun sekalipun demikian, FKUB hendaklah membangun jaringan hubungan kerja yang harmonis dengan lembaga-lembaga terkait seperti dengan Dewan Penasehat, Pemuka-Pemuka Agama dan Organisasi Kemasyarakat Keagamaan dan Pemerintah Daerah setempat. Berkenaan dengan itu, maka perlu dirumuskan Pedoman Hubungan Kerja antara FKUB dengan lembaga-lembaga dimaksud yaitu sebagai berikut.

Jumat, 26 September 2008

Usulan Program Kerja FKUB Se-Indonesia

RANCANGAN PROGRAM KERJA KOMISI C:
RAKOR FKUB SE INDONESIA DI BANDUNG
TANGGAL 6 S/D 8 AGUSTUS 2008


Pendahuluan
Terbukanya peluang pengamalan ajaran agama secara paripurna oleh masing-masing penganut agama sangat tergantung dari kemampuan masyarakat mewujudkan kerukunan umat beragama. Kerukunan hidup beragama adalah bagian penting dari kerukunan nasional oleh karena itu kerukunan yang ingin diwujudkan itu adalah kerukunan yang dinamis, kreatif dan inovatif. Hal ini disebabkan karena kerukunan hidup umat beragama bukanlah sesuatu yang sudah selesai akan tetapi terus berproses. Kerukunan itu hendaklah berasal dari akar-akar tradisi masyarakat setempat sehingga dengan mudah dapat dipahami dan dilaksanakan oleh masyarakat. Untuk menuju kepada perwujudan kerukunan yang berkelanjutan itu ditentukan oleh adanya kerjasama yang harmonis antara sesama pemuka agama, antara pemuka agama dengan aparat pemerintah. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 telah mengamanatkan adanya empat tugas dan fungsi FKUB yaitu: melakukan dialog, menampung aspirasi, menyalurkan aspirasi, sosialisasi peraturan dan undang undang yang berkenaan dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat. Dalam pengamatan di lapangan pada umumnya FKUB di daerah masih lebih banyak terfokus pada pemberian rekomendasi terhadap permohonan pendirian rumah ibadat padahal tugas itu lebih bersifat insidental dibanding dengan tugas FKUB yang berlangsung secara berkesinambungan sebagaimana disinggung di atas. Untuk itulah perlu disusun program kerja FKUB sebagai pedoman dalam pengembangan kinerja FKUB daerah.


A. Pelaksanaan Dialog
Meningkatkan frekwensi pertemuan baik terjadwal maupun tidak terjadwal di kalangan anggota FKUB yang bertujuan untuk mempersatukan visi dan misi yang diemban oleh FKUB.
Menyusun topik-topik pembahasan tentang berbagai persoalan yang muncul baik lingkup daerah, nasional maupun internasional dan apabila dipandang perlu mempublikasikan hasil dialog itu kepada media massa agar masyarakat memiliki paduan dalam mengambil sikap terhadap berbagai persoalan aktual.
Bekerjasama dengan majelis-majelis agama, untuk melakukan dialog internal umat beragama agar terjembataninya perbedaan untuk kebersamaan yang berkaitan dengan pemahaman dasar akidah/teologi.
Membangun semangat kebersamaan agar wakil suatu agama yang menjadi anggota FKUB hendaknya diakui sebagai wakil dari semua unsur kelompok agama yang bersangkutan.
Bersama-sama dengan masyarakat melakukan dialog tentang topik-topik tertentu yang dimiliki oleh semua agama sehingga dapat dibangun suatu wawasan pemahaman yang luas mengenai konsep suatu agama tentang hal-hal tertentu.
Mendorong terwujudnya saling komunikasi antar pemuka agama baik yang berada di dalam maupun di luar FKUB sehingga masing-masing pemuka agama dapat memahami aspirasi dari masing-masing kelompok agama.
Mengadakan dialog di kalangan kelompok sosial seperti generasi muda dan wanita untuk membangun rasa tanggung jawab bersama terhadap kerukunan umat beragama.
Mengadakan dialog dengan pejabat pemerintah di daerah agar kehadiran pemuka agama dapat menjadi rujukan masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, hukum dan sebagainya.
Mengadakan dialog dengan stake holder dalam upaya membangun kebersamaan guna meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang rukun dalam bidang ipoleksosbud hankam.
10. Mengadakan dialog dengan pimpinan pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai pendidikan tinggi untuk mensosialisasikan gerakan kerukunan umat beragama di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan.
11. Membangun komunikasi dialogis dengan LSM Kerukunan umat beragama yang ada di daerah masing-masing untuk membangun kerjasama dalam pemeliharaan kerukunan terutama dalam melaksanakan fungsi FKUB.

Draft Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga FKUB di Indonesia Hasil Rakornas Bandung tgl 8/8/2008

Pada Rapat Kordinasi Nasional FKUB se-Indonesia yang diselenggarakan di Bandung pada tanggal 7 dan 8 Agustus 2008, Komisi A sepakat untuk tidak sepakat dalam menentukan kelembagaan FKUB. Ada dua pendapat dalam Komisi A. Pendapat pertama yang mengatakan bahwa FKUB membutuhkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga FKUB untuk mengatur urusan-urusan kelembagaan FKUB. Pendapat yang kedua yang mengatakan bahwa FKUB membutuhkan kerangka dasar Pedoman Tata Kerja Kelembagaan FKUB. Sedangkan saya berpendapat bahwa untuk mengatur mengenai kelembagaan FKUB itu sendiri maka FKUB membutuhkan Pedoman Tata Kerja Kelembagaan FKUB.

Komisi A menyerahkan kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia untuk memutuskan apakah FKUB di setiap kabupaten/kota dan provinsi akan menggunakan pedoman tata kerja kelembagaan FKUB atau anggaran dasar dan anggaran rumah tangga FKUB.


DRAFT RAKORNAS FKUB
(Rumusan Komisi A)
Tanggal 7-8-08

ANGGARAN DASAR
FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA


PEMBUK
BAB I
NAMA, WAKTU DAN KEDUDUKAN
Pasal 1
Nama
Organisasi Ini bernama Forum Kerukunan Umat Beragama disingkat FKUB.
Pasal 2
Waktu
FKUB ini didirikan pada tanggal 21 Maret 2006 untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
Pasal 3
Kedudukan
(1) FKUB berkedudukan di provinsi, kabupaten dan kota di seluruh wilayah Republik Indonesia.
(2) FKUB apabila dianggap perlu, dapat dibentuk di tingkat kecamatan.
Pasal 4
Pembentukan
Pembentukan FKUB dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah.
BAB II
ASAS, SIFAT DAN TUJUAN

RUU Pornografi Menimbulkan Delik Pidana Yang Sulit Diperhitungkan

PEMBATASAN-PEMBATASAN NEGARA
DALAM RUANG PRIVAT
Tinjauan Yuridis Rancangan Undang-Undang
Pornografi
- Vera W Soemarwi -

I. Pendahuluan

Keresahan sebagian masyarakat akan meningkatnya tingkat kejahatan a-susila dewasa ini disebabkan oleh maraknya tayangan-tayangan pornografi dan pornoaksi diberbagai media yang sangat mudah dapat diperoleh. Keresahan sebagaian masyarakat ini kemudian direspon oleh pemerintah dengan memberikan sebuah solusi yang tidak tepat yaitu dengan merancang sebuah undang-undang tentang Pornografi. Kami memandang berbagai kelemahan dalam rancangan undang-undang pornografi.

II. Tanggapan Umum RUU Pornografi:

a. hak mengembangkan seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya sebagaimana diatur dalam pasal 28 huruf C ayat (1) UUD’45 telah dipasung oleh pemerintah melalui berbagai cara salah satunya yaitu RUU Pornografi;
b. hak kemerdekaan pikiran yang merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan diatur dalam pasal 28 huruf I ayat (1) telah dirampas oleh Pemerintah dengan prinsip-prinsip penilaian secara subyektif terhadap hasil buah pikir warganya;
c. indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional yang dilindungi oleh Negara melalui pasal 28 huruf I ayat (3) UUD’45 akan dicabut oleh RUU Pornografi dan digantikan dengan tindakan mengkriminalisasikan secara legalistic oleh pemerintah;
d. Negara telah merampas “hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” sebagaimana dilindungi dalam pasal 28 huruf F UUD’45 justru dijadikan dasar hukum pembentukan RUU Pornografi. Dasar hukum yang digunakan dalam RUU ini akan membuktikan bahwa tindakan pemerintah yang tidak professional dan melanggar azas-azas pemerintahan yang baik;
e. definisi yang tidak jelas, mengaburkan batas antara pornografi sendiri dengan erotika dan kecabulan;
f. definisi tentang media tidak jelas, selain itu unsur publikasi sebagai syarat pornografi berimplikasi bahwa pornografi yang tidak dipublikasikan adalah bukan termasuk pornografi dalam RUU ini;
g. kriminalisasi terhadap korban, tanpa melihat konteks sosial ekonomi dimana perempuan dan anak rentan terjerat menjadi objek pornografi (dalam arus traficking);
h. RUU pornografi juga tidak membahas pornografi sebagai isu kekerasan terhadap perempuan;
i. barang-barang pornografi yang terbatas;
j. karya seni yang dibatasi hanya bisa disaksikan pada ruang yang sangat terbatas yaitu di tempat pertunjukkan seni; dan
k. delik/sanksi tidak sensitive terhadap korban.