Rabu, 17 Desember 2008

Peran Gereja Katolik Dalam Penanggulangan Kemiskinan

Indonesian Catholic
Partner in eradicating poverty
Vera Wenny Soemarwi

1. Introduction
Right after the Independence war and after the proclamation of the Republic of Indonesia, the Indonesian Catholics, from December 7 -12, 1949 held the first national meeting in Yogyakarta, the capital city of the new republic. In this first national meeting, known as Kongress Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) – All Indonesian Catholics Congress, there was a strong awareness that after the termination of the Dutch colony, our new common enemy was poverty.

In many ways the Catholics tried to struggle against poverty in every kind of forms. Since the beginning, in every hart of a believer has been planted a vocation that helping those who are in need is a worship; it is called social worship. Helping the poor is an expression of loving Jesus Christ, who loved the poor in such a way that He identified Himself with the poor, the least, as said “‘I tell you the truth, whatever you did for one of the least of these brothers of mine, you did for me” (Matthew 25:40).

Going to church and praying are expressions of faith but helping those who are in need, regardless their religious and ethnic back ground, is an actualization of faith; both are complementary.

2. The Option for the Poor
The Roman Catholic involvement especially in Indonesia in spirit of option to the poor based on at belief in God that all lives of Jesus is devoted to impecunious and maltreated people.
So that you could share your bread for starving one who and bring to your home the poor that has no house and if you see naked people, so that you give him/her clothes and not hide out to your brother by it self. (Isaiah 58:7)
Jesus answered: "If you want to be perfect, go, sell all your possessions and give to the poor, and you will have treasure in Heaven. Then come, follow Me." (Matthew 19:21)
As it is written: "He has scattered abroad his gift to the poor; his righteousness endures forever." (Corinthian 9:9)

The Role of Indonesian Catholic in Eradicating Poverty

Indonesian Catholic
Partner in eradicating poverty
Vera Wenny Soemarwi

1. Introduction
Right after the Independence war and after the proclamation of the Republic of Indonesia, the Indonesian Catholics, from December 7 -12, 1949 held the first national meeting in Yogyakarta, the capital city of the new republic. In this first national meeting, known as Kongress Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) – All Indonesian Catholics Congress, there was a strong awareness that after the termination of the Dutch colony, our new common enemy was poverty.

In many ways the Catholics tried to struggle against poverty in every kind of forms. Since the beginning, in every hart of a believer has been planted a vocation that helping those who are in need is a worship; it is called social worship. Helping the poor is an expression of loving Jesus Christ, who loved the poor in such a way that He identified Himself with the poor, the least, as said “‘I tell you the truth, whatever you did for one of the least of these brothers of mine, you did for me” (Matthew 25:40).

Going to church and praying are expressions of faith but helping those who are in need, regardless their religious and ethnic back ground, is an actualization of faith; both are complementary.

2. The Option for the Poor
The Roman Catholic involvement especially in Indonesia in spirit of option to the poor based on at belief in God that all lives of Jesus is devoted to impecunious and maltreated people.
So that you could share your bread for starving one who and bring to your home the poor that has no house and if you see naked people, so that you give him/her clothes and not hide out to your brother by it self. (Isaiah 58:7)

Jesus answered: "If you want to be perfect, go, sell all your possessions and give to the poor, and you will have treasure in Heaven. Then come, follow Me." (Matthew 19:21)
As it is written: "He has scattered abroad his gift to the poor; his righteousness endures forever." (Corinthian 9:9)

Catatan Perjalanan Dialog Antar Agama dan Sosialisasi PBM di Manokwari, Papua Barat

Catatan Perjalanan Dialog Antar Agama dan Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri & Menteri Agama No 9 dan 8 Thn 2006 di Provinsi Papua Barat, Kabupaten Manokwari
I. Sekilas Informasi Pemerintahan Daerah Papua Barat[i]

SEJARAH PEMERINTAHAN

Provinsi Papua Barat awalnya bernama Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Serta mendapat dukungan dari SK DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 10 Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi Irian Jaya menjadi tiga provinsi. Setelah dipromulgasikan pada tanggal 1 Oktober 1999 oleh Presiden B.J. Habibie, rencana pemekaran provinsimenjadi tiga ditolak warga papua di Jayapura dengan demonstrasi akbar pada tanggal 14 Oktober 1999. Sejak saat itu pemekaran provinsi ditangguhkan, sementara pemekaran kabupaten tetap dilaksanakan sesuai UU Nomor 45 Tahun 1999.

Pada tahun 2002, atas permintaan masyarakat Irian Jaya Barat yang diwakili Tim 315. Pemekaran Irian Jaya Barat kembali diaktifkan berdasarkan Inpres Nomor I Tahun 2003 yang dikeluarkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 27 Januari 2003. Sejak saat itu, Provinsi Irian Jaya Barat perlahan membentuk dirinya menjadi provinsi definitif. Dalam perjalanannya, Provinsi Irian Jaya Barat mendapat tekanan keras dari induknya Provinsi Papua, hingga ke Mahkamah Konstitusi melalui uji materiil. Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan UU Nomor 45 Tahun 1999 yang menjadi payung hukum Provinsi Irian Jaya Barat. Namun Provinsi Irian Jaya Barat tetap diakui keberadaannya.

Setelah itu, Provinsi Irian Jaya terus diperlengkapi sistem pemerintahannya, walaupun di sisi lain payung hukumnya telah dibatalkan. Setelah memiliki wilayah yang jelas, penduduk, aparatur pemerintahan, anggaran, anggota DPRD, akhirnya Provinsi Irian Jaya Barat menjadi penuh ketika memiliki gurbernur dan wakil gurbernur definitif Abraham O. Atururi dan Drs. Rahimin Katjong, M.Ed yang dilantik pada tanggal 24 Juli 2006. Sejak saat itu, pertentangan selama lebih dari 6 tahun sejak UU Nomor 45 Tahun 1999 dikumandangkan, dan pertentangan sengit selama 3 tahun sejak Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dikeluarkan berakhir dan Provinsi Irian Jaya Barat mulai membangun dirinya secara sah.

Keterlibatan Perempuan Indonesia Dalam Politik NKRI

Keterlibatan Perempuan Indonesia Dalam Politik NKRIVera Wenny Soemarwi

I. Pendahuluan
Dewasa ini, realitas sosial, budaya, dan agama bangsa Indonesia sangat mempengaruhi sistem politik kita sehingga menghambat perempuan dalam beraktifitas di bidang sosial politik yang lebih luas. Ajaran agama yang sering digunakan untuk mendukung pembatasan-pembatasan hak-hak perempuan telah digunakan oleh sebagian besar partai politik agar perempuan tidak dapat memperjuangkan hak-hak sipil dan politiknya secara optimal. Peluang yang diberikan kepada perempuan cenderung hanya di bidang domestik atau sektor-sektor informal saja. Ajaran-ajaran agama tertentu ini yang terkadang tanpa disadari telah melandasi terbentuknya tindakan diskriminatif yang diterima oleh perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan ini dilakukan secara struktural, kultural dan sistematis. Maka upaya-upaya untuk memperkuat posisi tawar perempuan ini harus diperjuangkan baik melalui peraturan perundang-undangannya dan didukung dengan perubahan dalam sistem perekrutan dan pengkaderan di partai politik.

Konstitusi memberikan perlindungan kepada setiap orang khususnya perempuan terhadap perlakuan diskriminatif yang diatur dalam pasal 28 I ayat (2) “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Bila negara konsisten dalam menjamin hak-hak konstitusi setiap warga negaranya, maka negara akan memperkecil segala kemungkinan tindakan diskriminatif terhadap perempuan baik secara struktural, kultural dan sistematis. Jaminan hak-hak konstitusi ini dapat diberikan dengan mengubah peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, segala peraturan internal partai politik seperti AD/ART partai politik yang tidak mendukung keterlibatan perempuan dalam pemenuhan hak-hak sipil dan politiknya serta membangun sistem perlindungan yang menyeluruh terhadap perempuan.
Lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia adalah perempuan. Dari jumlah tersebut, perempuan yang terlibat sebagai pengurus partai politik, dalam eksekutif, serta duduk di kursi DPR-RI dan DPRD, relatif sangat sedikit. Padahal partai politik merupakan salah satu penghubung antara warga negara dengan negara. DPR-RI adalah lembaga legislatif yang menentukan arah kebijakan negara serta merumuskan peraturan perundang-undangan. Sehingga aspirasi perempuan tidak tercermin dalam setiap proses pengambilan keputusan dan produk perundang-undangan yang dihasilkan dalam DPR-RI. Realitas ini merupakan sebuah tindakan sistematis yang dilakukan oleh partai politik dalam menghambat keterlibatan perempuan dalam pemenuhan hak-hak sipil dan politiknya.