Rabu, 17 Desember 2008

Keterlibatan Perempuan Indonesia Dalam Politik NKRI

Keterlibatan Perempuan Indonesia Dalam Politik NKRIVera Wenny Soemarwi

I. Pendahuluan
Dewasa ini, realitas sosial, budaya, dan agama bangsa Indonesia sangat mempengaruhi sistem politik kita sehingga menghambat perempuan dalam beraktifitas di bidang sosial politik yang lebih luas. Ajaran agama yang sering digunakan untuk mendukung pembatasan-pembatasan hak-hak perempuan telah digunakan oleh sebagian besar partai politik agar perempuan tidak dapat memperjuangkan hak-hak sipil dan politiknya secara optimal. Peluang yang diberikan kepada perempuan cenderung hanya di bidang domestik atau sektor-sektor informal saja. Ajaran-ajaran agama tertentu ini yang terkadang tanpa disadari telah melandasi terbentuknya tindakan diskriminatif yang diterima oleh perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan ini dilakukan secara struktural, kultural dan sistematis. Maka upaya-upaya untuk memperkuat posisi tawar perempuan ini harus diperjuangkan baik melalui peraturan perundang-undangannya dan didukung dengan perubahan dalam sistem perekrutan dan pengkaderan di partai politik.

Konstitusi memberikan perlindungan kepada setiap orang khususnya perempuan terhadap perlakuan diskriminatif yang diatur dalam pasal 28 I ayat (2) “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Bila negara konsisten dalam menjamin hak-hak konstitusi setiap warga negaranya, maka negara akan memperkecil segala kemungkinan tindakan diskriminatif terhadap perempuan baik secara struktural, kultural dan sistematis. Jaminan hak-hak konstitusi ini dapat diberikan dengan mengubah peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, segala peraturan internal partai politik seperti AD/ART partai politik yang tidak mendukung keterlibatan perempuan dalam pemenuhan hak-hak sipil dan politiknya serta membangun sistem perlindungan yang menyeluruh terhadap perempuan.
Lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia adalah perempuan. Dari jumlah tersebut, perempuan yang terlibat sebagai pengurus partai politik, dalam eksekutif, serta duduk di kursi DPR-RI dan DPRD, relatif sangat sedikit. Padahal partai politik merupakan salah satu penghubung antara warga negara dengan negara. DPR-RI adalah lembaga legislatif yang menentukan arah kebijakan negara serta merumuskan peraturan perundang-undangan. Sehingga aspirasi perempuan tidak tercermin dalam setiap proses pengambilan keputusan dan produk perundang-undangan yang dihasilkan dalam DPR-RI. Realitas ini merupakan sebuah tindakan sistematis yang dilakukan oleh partai politik dalam menghambat keterlibatan perempuan dalam pemenuhan hak-hak sipil dan politiknya.


Partai politik, eksekutif, dan legislatif didominasi oleh laki-laki sehingga nilai, kepentingan, aspirasi, serta prioritas laki-laki menentukan agenda partai politik. Sehingga ada ketimpangan antara suara, kepentingan, perjuangan nilai, serta aspirasi laki-laki dan perempuan dalam proses pengambilan keputusan untuk seluruh rakyat Indonesia. Suara perempuan selalu diabaikan dalam proses pengambilan keputusan karena keterwakilan perempuan dalam partai politik, jajaran eksekutif, dan DPR-RI serta DPRD sangat kecil sekali. Sehingga perubahan yang diharapkan oleh NKRI menjadi Negara demokrasi yang saat ini sedang diperjuangkan melalui proses politik sulit dijangkau. Proses demokrasi ini dapat berjalan secara seimbang dan tidak dimanipulasi maka NKRI harus menyeimbangkan posisi antara yang kuat dan yang lemah dalam bidang ekonomi, politik dan budaya termasuk menyeimbangkan posisi laki-laki dan perempuan dalam partai politik, eksekutif, dan legislatif. Bila keseimbangan kuantitas dan kualitas antara laki-laki dan perempuan tercipta maka demokrasi yang sehatpun dapat tercapai. Tindakan sistematis dari partai politik ini yang tidak memberikan peluang dan kesempatan kepada perempuan sama dengan kesempatan yang diberikan kepada laki-laki jelas bertentangan dengan International Covenant on Civil and Political Rights pasal 3 yang menjamin persamaan hak-hak sipil dan politik antara laki-laki dan perempuan.

Hambatan-hambatan tersebut yang secara struktural, kultural dan sistematis dialami oleh perempuan dalam memenuhi hak-hak sipil dan politiknya justru bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights. Hak-hak sipil dan politik perempuanpun dilindungi dalam UU No. 12/2005. Hak-hak sipil dan politik perempuan yang dilindungi antara lain: hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (pasal 19); hak atas kebebasan berserikat (pasal 22); hak untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya (pasal 25); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (pasal 26).

II. Partai politikpun harus menjamin dan melindungi hak Konstitusi perempuan
Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Pemilu yang dianggap sebagai sarana demokrasi belum cukup untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR. Partai politik diwajibkan untuk membangun sebuah mekanisme pemilihan dan pencalonan yang strategis, berpihak pada perempuan dan memberikan perlindungan dan perlakuan khusus bagi perempuan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H ayat (2) dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 serta transparan dan terukur perlu diterapkan untuk membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam politik formal yang lebih luas. Prinsip keseimbangan kualitas dan kuantitas pada sistem demokrasi yang sehatpun dapat tercipta bila untuk beberapa waktu tertentu negara membuat strategis khusus yang menjamin dan melindungi perempuan untuk terlibat aktif dalam partai politik, eksekutif dan legislatif.

Kesadaran akan perlunya peningkatan keterlibatan perempuan di dalam partai politik sudah ada meskipun belum didukung dengan sebuah mekanisme pemilihan dan pencalonan yang lebih berpihak pada perempuan. Pengembangan sebuah system yang berpihak pada perempuan perlu ditegaskan kembali lewat peraturan yang lebih mengikat dan memiliki kekuatan hukum yang pasti. Supaya penerapan 30% kuota perempuan dalam parlemen tidak hanya menjadi retorika saja tetapi merupakan sebuah tindakan nyata yang didukung dengan sistem yang baik dalam setiap partai politik.

Sistem yang akan dikembangkan ini akan membuka kesempatan yang lebih luas kepada perempuan untuk berperan secara aktif dalam kepengurusan partai, melalui proses yang adil, transparan, dan perlakuan khusus kepada perempuan. Dalam partai politik di buka program khusus untuk kaderisasi perempuan agar perempuan dapat menduduki posisi-posisi kepemimpinan dalam partai politik.

Mekanisme pemilihan dan pencalonan perempuan untuk menjadi calon-calon anggota legislatif yang sesuai dengan International Covenant on Civil and Political Rights pasal 3, 19, 22, 25, 26 dan Pasal 28 H ayat (2) dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 adalah sistem berselang atau selang-seling. Sistem berselang yang dimaksud adalah dua nama calon legislatif laki-laki harus disela dengan satu nama calon legislative perempuan. Penerapan sistem berselang ini merupakan sebuah tindakan afirmatif untuk mengejar ketertinggalan perempuan dalam politik, memperjuangkan hak-hak sipil dan politik perempuan yang selama ini masih dibatasi dan mendongkrak kontribusi perempuan dalam perpolitikan. Sistem berselang ini selain itu juga merupakan tindakan afirmatif yang diamanatkan oleh Undang-Undang Partai Politik (UU No. 2/2008 pasal 2 ayat (2) dan ayat (5) jo pasal 20) dan Undang-Undang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU No. 12/2003 pasal 65 ayat (1)). Penentuan kriteria dalam proses seleksi kandidat yang akan duduk di parlemen, partai politikpun harus memegang prinsip adil gender, terukur, dan transparan. Sistem berselang inipun juga sejalan dengan prinsip proporsional.

Partai politik tidak diperkenankan untuk membentuk sistem suara terbanyak karena suara terbanyak akan menghambat keterlibatan perempuan dalam parlemen dan tidak mendukung perlakuan khusus seperti yang diamanatkan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dalam rangka penghormatan hak-hak sipil dan politik perempuan serta menyelenggarakan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945), negara dapat menerapkan sistem berselang ini untuk digunakan oleh seluruh partai politik. Negara dapat mengubah UU No. 2/2008 pasa 2 ayat (3) agar sistem berselang ini diterapkan dan diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga tiap partai politik. Perubahan UU No. 2/2008 akan lebih menjamin hak-hak sipil perempuan, pengakuan, dan perwujudan dari International Covenant on Civil and Political Rights pasal 3, 19, 22, 25, jo 26, dan perwujudan Pasal 28 H ayat (2), Pasal 28 G ayat (1), Pasal 28 J ayat (1) dan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945). Keterwakilan 30 % perempuan dalam parlemen sebagaimana diatur dalam UU No. 2/2008 pasal 2 ayat (2) dan ayat (5) jo pasal 20) dan UU No. 12/2003 pasal 65 ayat (1) dapat dilaksanakan oleh setiap partai politik. Keseimbangan antara hak-hak sipil dan politik, nilai, kepentingan dan aspirasi antara laki-laki dan perempuan dapat tercipta dalam partai politik, eksekutif dan legislatif.

Tidak ada komentar: