Selasa, 26 Agustus 2014

KEDAULATAN UDARA INDONESIA: ANCAMAN & UPAYA PERTAHANANNYA


Vera Wheni S Soemarwi, S.H., LL.M

Abstrak
Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam yang terkandung di darat, laut maupun udara. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki ribuan pulau. Pulau-pulau tersebut belum terdata dan terorganisir dengan rapi di pemerintahan Republik Indonesia. Fakta ini disimpulkan dari data yang dilansir oleh sejumlah kementerian yang mencatat jumlah pulau di Indonesia berkisar antara 13.487 sampai dengan 18.306 pulau. Kesimpangsiuran data ini telah menimbulkan potensi konflik dengan negara tetangga. Potensi konflik itu muncul karena para negara tetangga menganggap Indonesia memiliki kelemahan dalam menjaga keutuhan kedaulatan darat, laut, udara dan kepulauan. Di beberapa titik perbatasan dengan negara tetangga, Indonesia memiliki potensi sengketa dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Timor Leste dan Filipina. Untuk menghindari agar potensi konflik itu tidak menjadi konflik perbatasan maka penting bagi Indonesia untuk menentukan batas-batas wilayah darat, laut, udara dan kepulauan. Penentuan batas wilayah merupakan unsur terpenting bagi suatu negara dalam menentukan teritorinya (a difined territory)[1]. Memastikan perbatasan darat, laut dan kepulauan-kepulauan terdepan[2] penting bagi Republik Indonesia untuk menentukan wilayah kedaulatan udara Indonesia. Ketidakjelasan perbatasan akan berdampak pada hilangnya sebagian wilayah kedaulatan Indonesia. Tujuan penelitian ini dilakukan agar pemerintah Indonesia melakukan upaya untuk mempertahankan kedaulatannya dengan cara mendirikan pos-pos penjagaan dan kantor pemerintahan kepulauan serta pendudukan nyata terhadap pulau-pulau terdepan yang berjumlah 92 pulau ini. Dengan upaya ini Indonesia dapat memiliki ruang udara yang sangat luas karena penentuan wilayah teritorial laut 12 mil dari pulau terdepan. Keuntungan lainnya dalam penentuan Zona Ekonomi Ekslusif serta Batas Lintas Kontinen yang dihitung 200 mil dari kepulauan terdepan, Indonesia dapat memililki kekayaan alam yang dapat diekplorasi lebih luas lagi. Indonesia pernah mengalami kehilangan dua Pulau Sipadan dan Ligitan. Dari pengalaman kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, artikel ini, akan mengulas pentingnya memelihara wilayah Republik Indonesia melalui inventarisasi dan kepastian hukum akan wilayah-wilayah perbatasan baik darat, laut, udara serta kepulauan Indonesia; klaim kedaulatan di kepulauan-kepulauan terdepan dalam rangka penentuan wilayah kedaulatan udara Negara Republik Indonesia. Methodologi dalam artikel ini menggunakan metode empiris dengan menggunakan studi kasus Sipadan dan Ligitan serta menganalisa potensi-potensi konflik perbatasan dengan negara tetangga yang terjadi di Indonesia setelah kasus Sipadan dan Ligitan. Artikel ini mengedepankan proses pembelajaran bersama (leasson learned) dalam kasus Sipadan dan Ligitan serta mencari cara untuk menjaga keutuhan wilayah darat, laut, dan udara Republik Indonesia.

I.     Pendahuluan
Kedaulatan suatu negara merupakan suatu hak yang hakiki yang harus dimiliki oleh suatu negara. Negara yang berdaulat mempunyai hak untuk menentukan segala urusan dalam negeri dan urusan luar negeri. Salah satu ciri negara yang memiliki kedaulatan yang utuh adalah memiliki wilayah teritorial yang jelas. Wilayah teritorial dibagi menjadi wilayah darat, laut dan udara. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia maka wilayah teritorialnya terdiri dari darat, laut, kepulauan dan udara. Wilayah teritorial ini perlu diperjelas dengan cara menentukan wilayah perbatasan  dengan negara tetangga.  
Salah satu cara dalam menentukan batas-batas wilayah darat, laut, udara dan kepulauan suatu negara dapat dituangkan melalui treaty[3] dan bila batas-batas wilayah negara tidak ditentukan dalam treaty sulit bagi negara untuk mengklaim teritorinya[4]. Dalam hukum internasional yang dimaksud dengan treaty adalah perjanjian internasional yang diwujudkan dalam bentuk tertulis yang diselenggarakan secara khusus oleh dua atau lebih negara untuk mengatur hal-hal khusus sebagaimana diatur, ditentukan dan tunduk pada hukum internasional.   Untuk itu penting sekali bagi negara untuk menentukan batas-batas wilayahnya dan mengadakan perundingan dengan negara tetangga. Penentuan wilayah perbatasan di darat, laut dan kepulauan akan berdampak pada wilayah kedaulatan udara suatu negara seperti yang tertuang dalam Pasal 1 dan 2 Konvensi Chicago, 1944[5].
Lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia telah berdampak pada: (a) berkurangnya luas wilayah darat dan laut; (b) berkurangnya kekayaan alam yang terkandung di darat dan lautan pulau itu; dan (c) berkurangnya potensi ekonomi; (d) berkurangnya wilayah kedaulatan udara Republik Indonesia. Dampak ini belum begitu diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia. Kehilangan wilayah udara dapat diartikan bahwa Indonesia kehilangan potensi ekonomi. Misalnya potensi ekonomi yang dapat diambil dari kedua pulau tersebut seperti: jalur penerbangan domestik ke dan dari pulau itu; dan bila maskapai Indonesia akan melintasi wilayah udara diatas kedua pulau itu Indonesia tidak perlu minta ijin lintas wilayah udara sedangkan saat ini setelah kedua pulau itu dikuasai oleh Malaysia bila maskapai Indonesia akan melintas di atas ruang udara kedua pulau tersebut maka Indonesia harus memperoleh ijin lintas wilayah udara dari Malaysia. Akibat lainnya adalah Indonesia kehilangan lebar laut teritorial yang seharusnya dapat diukur maksimal 12 mil laut dari Pulau Sipadan dan Ligitan. Indonesia bukan hanya kehilangan kedaulatan atas laut tetapi juga kedaulatan atas ruang udara diatas wilayah teritorial laut 12 mil dari kedua pulau tersebut. Setelah kedua pulau itu masuk ke wilayah teritorial Malaysia maka penentuan garis pangkal Indonesia sebagai negara kepulauan ditarik dari Pulau Sebatik ke Pulau Tanjung Arang dan menuju ke Pulau Maratua merupakan bagian dari kepulauan Derawan, kawasan segitiga terumbu karang, kaya akan aneka ragam hayati, merupakan kawasan wisata. Pulau Maratua memiliki luas daratan 384,36 km2 dan wilayah perairan 3.735, 18 km 2 termasuk wilayah Kabupaten Berau, Propinsi Kalimatan Timur terletak di kepulauan terdepan Indonesia yang berada di Laut Sulawesi[6] berbatasan dengan Malaysia dan Filipina.
Saat ini Indonesia memiliki potensi konflik perbatasan dengan negara tetangga mengenai: (a) sengketa garis batas teritorial; (b) sengketa posisi perbatasan; (c) potensi konflik perbatasan terkait dengan kekayaan alam[7]; dan (e) potensi konflik kedaulatan atas pulau-pulau.  
Artikel ini akan mengulas inventarisasi potensi konflik; bagaimana menentukan kepastian hukum dan klaim kedaulatan wilayah RI; dan penentuan wilayah kedaulatan udara RI sesuai dengan hukum internasional. 
II.   Inventarisasi Potensi Konflik Perbatasan antara Republik Indonesia dengan Negara Tetangga
Pentingnya sebuah perjanjian internasional dalam menentukan batas-batas wilayah antar negara yang dituangkan secara tertulis sehingga perjanjian ini akan diakui oleh negara-negara lain sebagai dokumen otentik yang dapat digunakan sebagai bukti klaim kepemilikian suatu wilayah atau territory. Dalam hukum international prinsip ini disebut sebagai erga omnes regimes[8]. Yang dimaksud dengan prinsip erga omnes (bahasa Latin: untuk kepentingan seluruh dunia) adalah kewajiban internasional suatu negara yang dimiliki oleh seluruh negara-negara di dunia. Sehingga bila suatu negara melanggar salah satu kewajiban internasional yang termasuk dalam kategori erga omnes maka seluruh negara-negara dapat menuntut negara pelanggar kewajiban internasional itu untuk melaksanakan kewajibannya. 
Negara-negara yang ikut menandatangani perjanjian perbatasan wilayah ini tidak bisa serta merta menarik diri atau mengadakan perubahan isi perjanjian sebagai dasar untuk mengakhiri perjanjian ini[9]. Larangan penarikan diri secara sepihak ini secara jelas diatur dalam Viena Convention the Law of Treaty Pasal 62 (2) huruf (a).  
Penentuan wilayah perbatasan menjadi sangat penting dan merupakan isue yang sangat krusial untuk dicermati karena berdampak sangat luas. Salah satu dampak yang akan dibahas dalam artikel ini adalah dampak dari ketidakjelasan penentuan batas wilayah dan klaim wilayah baik di kepulauan[10], laut maupun darat akan berdampak pada berkurangnya wilayah kedaulatan udara suatu negara. Pembahasan ketidakjelasan wilayah perbatasan darat, laut dan kepulauan ini akan disajikan dalam artikel ini melalui upaya kita dalam mempertahankan wilayah teritorial yang berbatasan dengan negara tetangga. Pembahasan akan dimulai dari perbatasan laut RI dan Filipina yang kemudian akan dilanjutkan dengan perbatasan antara RI dengan Malaysia.
Secara geografis RI dengan Filipina mempunyai wilayah perbatasan maritim di wilayah laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Wilayah perbatasan maritim akan menentukan Batas Landas Kontinen (BLK)[11] dan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)[12] bila mengikuti aturan hukum internasional maka penentuan batas wilayah akan ditarik antara BLK dan ZEE sama lebar yaitu 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah maritim Indonesia[13]. Bila Indonesia dan Filipina konsisten dalam menentukan batas wilayah BLK dan ZEE-nya dengan menggunakan Pasal 57 UNCLOS maka batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina akan tumpang tindih. Wilayah yang tumpang tindih itu adalah wilayah bagian selatan Mindanao dan berhimpitan dengan batas wilayah perairan Sulawesi. Penentuan wilayah yang tumpang tindih ini akan berdampak pada penentuan batas kedaulatan dan hukum di laut serta udara serta berdampak pada perikanan, wisatabahari, eksplorasi lepas pantai, transportasi laut dan udara, serta penentuan kekayaan negara di laut dan udara.
Agar batas wilayah ZEE antara Indonesia dengan Filipina menjadi jelas maka Pemerintah RI dengan Filipina mengadakan perjanjian[14]. Beberapa perundingan perbatasan laut RI dan Filipina telah diselenggarakan dalam forum teknis Joint Permanent Working Group on Maritime and Ocean Concerns (JPWG-MOC) yang dimulai sejak tahun 2003[15] dan telah mencapai kata sepakat pada bulan Mei 2014 dengan penentuan batas wilayah ZEE Indonesia dan Filipina yang tidak selalu diukur dari 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut. Pada titik-titik tertentu lebih dari 200 mil sedangkan dititik singgung di daerah lain kurang dari 200 mil. (lihat digambar dibawah ini yang diakses dari http://setkab.go.id/artikel-12489-perkembangan-perundingan-penetapan-batas-zona-ekonomi-eksklusif-ri-filipina.html).   

Pembahasan potensi perselisihan perbatasan lainnya adalah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia. Tercatat saat ini Indonesia sedang dalam proses perundingan perbatasan dengan Malaysia misalnya di wilayah Kalimantan Barat. Sengketa batas wilayah perairan antara Indonesia dengan Malaysia yang saat ini sedang meruncing adalah wilayah perairan Tanjung Datu, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Dalam sengketa ini, menurut panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko dalam wawancaranya dengan sindonews (28 Mei 2014), “Malaysia telah melanggar wilayah Indonesia sejauh 143 M2 dan berada di dalam garis landas kontinen Indonesia berdasarkan perjanjian Indonesia (RI-Malaysia) tahun 1969. Kegiatan Malaysia dalam upaya untuk menguasai Tanjung Datu diduga kuat dengan mengubah patok perbatasan A/2 dan A/3 yang dibuat pada jaman Pemerintah Belanda”[16]. Dari upaya Malaysia untuk berusaha menguasai wilayah Tanjung Datu adalah penguasaan secara efektif (effective occupation) berupa pembangunan Taman Negara Tanjung Datu National Park, kontrol pemerintahan secara effectif (effective control) dengan cara Pemerintah Malaysia sengaja membangun mercusuar tepat di samping mercusuar buatan pemerintah Belanda. Menurut Purnomo Yusgiantoro, dalam wawancaranya dengan wordpress pada tanggal 23 Mei 2014 “sengketa ini muncul karena adanya perbedaan dasar hukum dalam menentukan batas wilayah negara. Indonesia menggunakan Traktat London sedangkan Malaysia menggunakan batas alur sungai. Batas-batas yang ditetapkan dalam Traktat London telah diubah oleh Tim Border Committee Indonesia dengan Pihak Malaysia yang dituangkan dalam MoU”. Akibat dari perubahan penentuan batas-batas ini maka Indonesia kehilangan 1490 Ha di wilayah Camar Bulan dan 800 M2 garis pantai di Tanjung Datu sehingga Indonesia kehilangan wilayah teritorial laut, udara dan darat serta kekayaan alam lainnya diatas dan dibawah wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datu. Diprediksi bahwa dilaut Tanjung Datu terdapat kandungan kekayaan alam seperti timah, minyak dan gas[17].
ttp://indocropcircles.files.wordpress.com/2014/05/tanjung-datu-map-2.jpg
peta Camar Wulan dan Tanjung Datu. (foto: equator.com)
Selain sengketa Tanjung Datu ada wilayah lain di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia menuai konflik perbatasan seperti di Dusun Camar Bulan, Desa Temanjuk Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas. Persoalan utama didaerah ini adalah overlapping klaim titik perbatasan di kawasan Dusun Camar Bulan yang terletak di ujung utara Kecamatan Paloh yang berbatasan dengan Sarawak, Malaysia. Menurut penjelasan Michael Tene, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia Overlapping itu terletak pada wilayah 1,5 KM 2 dari patok perbatasan Indonesia dan Malaysia mengingat ada patok-patok perbatasan yang rusak. 
Posisi geografis Indonesia di wilayah darat berbatasan dengan Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste sedangkan di laut Indonesia berbatasan dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua New Guinea, Australia dan Timor Leste[18]. Di wilayah-wilayah perbatasan dengan negara-negara tersebut Indonesia mempunya potensi sengketa perbatasan diantaranya: Indonesia dengan Malaysia tahun 1969 memperebutkan batas laut di Selat Malaka; Indonesia dengan Malaysia tahun 1980 memperebutkan Pulau Ambalat; Indonesia dengan Filipina tahun 1989 memperebutkan Pulau Miangas dan P Manoreh; Indonesia dengan Singapura tahun 2005 reklamasi pantai yang dilakukan Singapura, menambah perluasan wilayah hingga 199 Km2 hal ini berdampak pada Selat Singapura semakin sempit; Indonesia dengan Vietnam tahun 1982 Vietnam mengeluarkan “Statement on the Territorial Base Line” yang mengakibatkan sengketa P. Phu Qoc dan mengklaim wilayah laut Indonesia; Indonesia dengan Republik Palau tahun 1979 sengketa Zona Perikanan yang diperluas Palau menyebabkan tumpang tindih dengan ZEE Indonesia; Indonesia dengan Timor Leste tahun 2002 perbatasan Indonesia dengan Timor Leste yang masih belum pasti menyebabkan beberapa konflik; Indonesia dengan Thailand tahun 1981 Royal Proclamation yang tidak sesuai dengan penetapan batas dasar laut di Laut Andaman yang telah disepakati pada tahun 1973[19].
III.  Klaim Kedaulatan Republik Indonesia atas Kepulauan
Rezim hukum laut[20] menentukan bahwa negara kepulauan terdiri atas satu atau lebih gugusan pulau dimana diantaranya terdapat pulau-pulau lain yang merupakan satu kesatuan politik atau secara historis merupakan satu ikatan[21].
Untuk mengatur laut di negara kepulauan seperti Indonesia tunduk pada garis pangkal yang dapat ditentukan berdasarkan pada pengaturan garis pangkal kepulauan[22] yang merupakan wujud alamiah. Maka penetapan laut teritorial Indonesia selebar 12 mil diukur dari garis pangkal lurus (straight base lines) yang ditarik dari ujung ke ujung pulau terdepan Indonesia. Sebelum menentukan wilayah laut territorial Indonesia selebar 12 mil maka kita perlu menentukan terlebih dahulu pulau-pulau mana saja yang terletak di gugus kepulauan terdepan yang masuk ke wilayah Indonesia. Keuntungan dari negara kepulauan seperti Indonesia adalah negara dapat menentukan alur laut kepulauan. Alur laut kepulauan itu dapat digunakan sebagai rute penerbangan di atasnya. Artinya adalah Indonesia mempunyai hak untuk mengatur penerbangan pesawat berbendera negara lain yang akan melintasi diatas wilayahnya itu. Untuk menentukan itu maka perlu ada kajian secara mendalam dan mendata kepulauan Indonesia. Penentuan 12 mil dari gugus kepulauan terdepan akan berdampak pada batas-batas wilayah ruang udara yang dimiliki oleh Indonesia.
Ironisnya antar kementerian terkait belum ada kesamaan data mengenai jumlah pulau yang dimiliki oleh RI. Catatan dari beberapa lembaga seperti LIPI di tahun 1972 mempublikasikan jumlah pulau 6.127 pulau yang telah memiliki nama; Pusat Survei dan Pemetaan ABRI (Pussurta) tahun 1987 mencatat jumlah pulau yang dimiliki oleh RI adalah 17.504 pulau dan dari jumlah itu 5.707 pulau yang memiliki nama; Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) tahun 1992 mempublikasikan 6.489 pulau yang telah memiliki nama; Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) tahun 2002 berdasarkan citra satelit mencatat jumlah pulau di Indonesia adalah 18.306 pulau; Kementrian Riset dan Teknologi, tahun 2003, berdasarkan teknologi citra satelit merekam jumlah pulau di Indonesia adalah 18.110 pulau; Kementrian Dalam Negeri tahun 2004, mempublikasikan jumlah pulau di Indonesia adalah 17.504 pulau dan dari jumlah itu ada 7.870 pulau sudah memiliki nama sedangkan sisanya 9.634 pulau belum diberi nama; Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2009 mencatat jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.480 pulau dan hanya 4.891 pulau yang telah diberi nama dan telah didaftarkan ke PBB[23].   Data terakhir yang dapat kami himpun dari Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi jumlah pulau yang dapat dibakukan sejumlah 13.466 pulau dan pulau-pulau tersebut telah dilaporkan ke PBB[24]. Kita telah mulai membakukan pulau-pulau namun proses pembakuan pulau belum selesai. Kami berharap dari proses pembakuan ini ada kejelasan mengenai pulau-pulau yang dimiliki oleh Indonesia sehingga klaim yang tumpang tindih terhadap pulau-pulau yang sesungguhnya dimiliki oleh Indonesia tidak terjadi kembali.  
Disamping kesimpangsiuran akan data tersebut, terdapat 92 pulau terdepan dengan luas masing-masing pulau rata-rata 0,02 hingga 200 kilometer persegi. Dari 92 pulau[25] hanya 50%-nya berpenghuni sedangkan sisanya tanpa penghuni. 67 pulau dari 92 pulau terdepan berbatasan langsung dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, Papua New Guinea, Australia dan Timor Leste[26].
Wilayah lainnya yang perlu mendapatkan perhatian khusus berdasarkan inventarisasi yang telah dilakukan oleh Dinas Hidro Oseanografi (Dishidros) TNI AL, terdapat 92 pulau yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, diantaranya[27]:
  1. Pulau Simeulucut, Salaut Besar, Rawa, Rusa, Benggala dan Rondo berbatasan dengan India.
  2. Pulau Sentut, Tokong Malang Baru, Damar, Mangkai, Tokong Nanas, Tokong Belayar, Tokong Boro, Semiun, Subi Kecil, Kepala, Sebatik, Gosong Makasar, Maratua, Sambit, Berhala, Batu Mandi, Iyu Kecil, dan Karimun Kecil berbatasan dengan Malaysia.
  3. Pulau Nipa, Pelampong, Batu berhenti, dan Pulau Putri Nongsa berbatasan dengan Singapura.
  4. Pulau Sebetul, Sekatung, dan Senua berbatasan dengan Vietnam.
  5. Pulau Lingian, Salando, Dolangan, Bangkit, Manterawu, Makalehi, Kawalusu, Kawio, Marore, Batu Bawa Ikang, Miangas, Marampit, Intata, kakarutan dan Jiew berbatasan dengan Filipina.
  6. Pulau Dana, Dana (pulau ini tidak sama dengan Pulau Dana yang disebut pertama kali, terdapat kesamaan nama), Mangudu, Shopialoisa, Barung, Sekel, Panehen, Nusa Kambangan, Kolepon, Ararkula, Karaweira, Penambulai, Kultubai Utara, Kultubai Selatan, Karang, Enu, Batugoyan, Larat, Asutubun, Selaru, Batarkusu, Masela dan Meatimiarang berbatasan dengan Australia.
  7. Pulau Leti, Kisar, Wetar, Liran, Alor, dan Batek berbatasan dengan Timor Leste.
  8. Pulau Budd, Fani, Miossu, Fanildo, Bras, Bepondo dan Liki berbatasan dengan Palau.
  9. Pulau Laag berbatasan dengan Papua Nugini.
  10. Pulau Manuk, Deli, Batukecil, Enggano, Mega, Sibarubaru, Sinyaunau, Simuk dan wunga berbatasan dengan samudra Hindia.
Beberapa wilayah perbatasan yang disebutkan diatas perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah agar wilayah-wilayah itu dilakukan penempatan pos-pos penjagaan TNI, pengembangan potensi kepulauan seperti: tempat wisata, konservasi tumbuh-tumbuhan maupun binatang langka, membuka wilayah pertanian dan perikanan. Disamping itu perlu dilakukan agar wilayah-wilayah 92 pulau itu dilakukan effective occupation berupa membuka program seperti transmigrasi dengan dibarengi oleh pembanguan sektor ekonomi lainnya. Penghunian ke 92 pulau itu merupakan langkah untuk mempertahankan wilayah kedaulatan RI termasuk pertahanan wilayah ruang udara Indonesia.
Keprihatinan yang kedua adalah bagaimana upaya kita untuk menentukan kedaulatan RI atas pulau-pulau tersebut? Penting bagi kita untuk mendata dan mengklaim berapa pulau yang kita miliki dalam rangka menentukan kedaulatan negara atas wilayah udara, laut, darat dan kepulauan.

IV.  Kepastian Hukum dan Klaim Kedaulatan Wilayah Republik Indonesia
Indonesia punya pengalaman kurang baik dengan Malaysia dalam perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan yang dimulai sejak tahun 1969 dan berakhir di Pengadilan Internasional (I.C.J.) di tahun 2002[28]. Kekalahan Indonesia dalam perebutan ke dua pulau itu hendaknya dijadikan materi yang perlu diantisipasi (lesson-learn). Setelah Malaysia menguasai baik secara de jure maupun de facto atas kepulauan tersebut, Malaysia berupaya mengklaim blok Ambalat di wilayah laut Sulawesi (perairan sebelah timur Kalimantan). Sengketa Ambalat dengan luas wilayah15.235 KM2 dan kaya akan hasil tambang, gugus pulau gosong terletak di laut Sulawesi berbatasan antara Sabah, Malaysia dengan Kalimantan Timur, Indonesia. Dalam sengketa ini Malaysia berpendapat bahwa ia dapat memiliki blok Ambalat karena menurut perhitungan 200 mil dari Pulau Sipadan dan Ligitan maka blok Ambalat masuk ke wilayah teritorial Malaysia.  Agar pengalaman ini tidak terulang kembali, penulis mengulas tentang pentingnya pertahanan kedaulatan wilayah Republik Indonesia (NKRI) dalam menentukan kedaulatan wilayah udara RI.
Sebagai negara berdaulat, NKRI mempunyai hak untuk mengatur segala urusan dalam negeri dan luar negeri. Hak untuk berelasi dengan negara-negara lain sebagai konsekuensi negara sebagai anggota komunitas internasional. Indonesia yang berdaulat penuh atas wilayahnya mempunyai kewajiban untuk menjaga integritas teritorial[29]. Kedaulatan teritorial yang dimiliki oleh Indonesia mencakup wilayah darat, laut,  kepulauan dan udara diatas wilayah Indonesia[30]. Penentuan kedaulatan teritorial Indonesia merupakan salah satu kualifikasi negara sebagai subyek hukum dalam hukum internasional sebagaimana ditentukan oleh Konvensi Montevideo, 1933, Pasal 1. Menurut konvensi Montevideo, negara harus memiliki teritorial. Konsep kesatuan teritorial sebagai dasar untuk menentukan garis batas yang pasti. Dengan demikian penting bagi Indonesia untuk menentukan batas-batas wilayah daratan dan lautan termasuk menentukan landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif. Menentukan garis batas wilayah suatu negara dapat dituangkan dalam perjanjian international (treaty) atau melalui putusan pengadilan internasional.[31]
Proses suatu negara dalam menentukan batas-batas wilayah darat dan laut dimulai dengan kegiatan delimitasi. Kegiatan delimitasi adalah menentukan perbatasan wilayah masing-masing negara. Setelah delimitasi selesai proses selanjutnya adalah kegiatan demarkasi. Kegiatan demarkasi adalah kegiatan pemberian tanda-tanda batas wilayah negara. Tanda-tanda batas wilayah negara dapat berupa pemasangan patok, batu besar, pos penjagaan, atau dapat pula tanda yang bersifat alami seperti sungai, danau, atau gunung. Sedangkan untuk wilayah kepulauan seperti Indonesia garis-garis batas dan penentuan pulau-pulau kecil masuk ke wilayah Indonesia atau masuk ke wilayah negara tetangga perlu ditentukan bersama atau sering disebut dengan negosiasi delimitasi. Proses penentuan delimitasi kemudian dilanjutkan dengan demarkasi. Delimitasi dan demarkasi dituangkan dalam peta dengan garis koordinat yang tepat. Peta perbatasan pulau dicantumkan secara rinci dan dijelaskan bahwa peta perbatasan pulau ini merupakan lampiran dalam treaty. Peta ini digunakan sebagai bukti wilayah perbatasan antar negara terkait serta merupakan bagian yang tidak terpisah dalam perjanjian internasional yang dibuat untuk maksud penentuan batas-batas wilayah antar negara terkait[32].
Untuk menentukan kedaulatan teritorial di seluruh wilayah, termasuk pulau-pulau yang kecil, di Indonesia tidak cukup dengan tindakan delimitasi dan demarkasi saja tetapi harus diikuti dengan effective occupation[33], legislative, administrative, and quasi-judicial acts[34]. Yang dimaksud dengan effective occupation adalah hak eksklusif suatu negara untuk melaksanakan aktifitas kenegaraan[35] seperti membentuk wilayah administrasi pemerintahan RI. Dalam hukum internasional, tindakan nyata dari kepemilikan terhadap ribuan kepulauan adalah effective occupation atau pendudukan wilayah secara nyata. Dalam hal kekosongan atau tidak dimilikinya perjanjian perbatasan dengan negara tetangga maka tindakan yang dapat dilakukan adalah melakukan effective occupation. Tujuannya adalah negara tetangga tidak dapat mengklaim terhadap kepulauan di Indonesia yang belum dikuasai secara de facto dan de jure agar kita tidak kehilangan kepulauan lagi. Hal ini sejalan dengan putusan pengadilan internasional dalam kasus sengketa wilayah antara Nicaragua dan Honduras di laut Caribean[36].
Sedangkan yang dimaksud dengan legislative adalah menentukan atau membuat peraturan perundang-undangan yang berlaku di wilayah kepulauan itu. Yang dimaksud dengan Administrative adalah penempatan perwakilan kantor pemerintahan dan pegawai pemerintahan yang akan melakukan fungsi pelayanan publik kepada masyarakat di wilayah itu.  Arti dari Quasi-judicial acts adalah suatu rangkaian kegiatan dan tindakan administrasi pemerintahan yang memiliki otoritas untuk menentukan hukum yang berlaku di wilayah itu.
Secara sederhana dapat dirumuskan bahwa cara yang efektif untuk memastikan kepemilikian 18.306 (menurut Lapan berdasarkan citra satelit di tahun 2002) meskipun seluruhnya belum ada perjanjian internasional, belum diberi nama, dan belum didaftarkan di PBB maka tindakan awal adalah menduduki seluruh kepulauan itu, melakukan aktifitas pariwisata dan membangun kegiatan perekonomian sederhana di wilayah kepulauan serta membangun kantor-kantor pemerintahan. Bersamaan dengan tindakan pendudukan secara efektif, pemerintah dapat melakukan perundingan perbatasan wilayah.
Dengan menguasai seluruh kepulauan maka luas ruang udara Indonesia akan semakin luas. Dengan demikian Indonesia dapat menikmati keuntungan dari lalu lintas di atas wilayah udara yang luas.

IV.  Menjaga Wilayah Kedaulatan Udara Republik Indonesia
Keberadaan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan negara itu untuk mempertahankan kedaulatannya. Ancaman yang perlu diperhatikan oleh suatu negara terhadap keutuhan wilayahnya bisa dari luar mapun dari dalam negeri negara tersebut. Ancaman dari luar yang perlu diperhatikan oleh suatu negara adalah ancaman ekspansi negara lain terhadap sebagian maupun seluruh wilayah negara itu. Martabat bangsa akan tercoreng bila bangsa itu tidak dapat mempertahankan wilayah teritorialnya.
Wilayah kedaulatan RI perlu mendapat perhatian khusus dengan cara menjaga wilayah-wilayah perbatasan dengan negara tetangga khususnya di wilayah darat di 5 kabupaten Propinsi Kalimantan Barat, 3 kabupaten di Propinsi Kalimantan Timur berbatasan dengan Malaysia; 3 kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur berbatasan dengan Timor Leste; dan 5 kabupaten/kota di Propinsi Papua berbatasan dengan Papua Nugini. Disamping wilayah-wilayah tersebut, Indonesia masih mempunyai masalah penetapan batas wilayah yang perlu dipertegas kembali dengan negara tetangga yakni[37];
Masalah Batas RI - Malaysia, meliputi; Masalah batas laut di Selat Malaka. Kedua belah pihak belum sepakat, pihak Malaysia menghendaki adanya satu garis batas yakni menyatukan Garis Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan Landas Kontinen (LK); sementara Indonesia menghendaki kedua batas tersebut tidak segaris/tidak sama karena rejim hukumnya berbeda. Kemudian masalah batas laut teritorial, LK dan ZEE di perairan P. Sebatik dan Laut Sulawesi (blok Ambalat), belum selesai dirundingkan masih dalam penyelesaian, demikian juga batas ZEE di Laut China Selatan.
Masalah Batas Darat di Pulau Kalimantan, dari sepanjang perbatasan ± 2004 km, masih terdapat 10 (sepuluh) lokasi yang kedua negara belum sepaham, kesepuluh segmen tersebut disebut juga sebagai Outstanding Boundary Problems, yaitu: di Tanjung Datu, titik D 400, Gunung Raya, Sungai Buan, Batu Aum, titik C 500 – 600, titik B 2700 – 3100, Sungai Simantipal, Sungai Sinapad dan Pulau Sebatik.
Bila perbatasan ini tidak diperjelas maka batas wilayah ruang udara Indonesia berdasarkan pasal 1 dan 2 Konvensi Chicago 1944 dan Pasal 5 UU No. 1 Tahun 2009 menjadi tidak jelas. Data saat ini tercatat luas wilayah udara Indonesia dengan berdasarkan pada kurang lebih 17.499 pulau dan luas perairan lautnya mencapai kurang lebih 5.900.000 km2 dan garis pantai sepanjang kurang lebih 81.000 km sedangkan luas ZEE Indonesia kurang lebih 7,7 juta Km2, wilayah daratan 1,9 juta Km2[38]. Dengan jumlah pulau, luas perairan lautan, dan daratan tersebut maka Indonesia mempunyai wilayah ruang udara yang luas dan mempunyai hak ekslusif serta kedaulatan yang penuh atas ruang udaranya. Dengan luas ruang udara tersebut, Indonesia dapat menggunakannya untuk lintas penerbangan nasional maupun internasional. Bila dilihat dari posisi negara Indonesia yang berada pada posisi silang yaitu antara dua benua dan samudera maka Indonesia memiliki jalur lalu lintas udara yang sangat padat karena posisi Indonesia ini yang dapat menghubungkan kedua kawasan besar itu. Luas wilayah ruang udara ini sesungguhnya dapat digunakan oleh Indonesia untuk memperoleh keuntungan dibidang ekonomi nasional dengan cara mengoptimalkan dan mengelola dengan baik jalur transportasi udara dari dan ke Indonesia, transportasi dalam negeri Indonesia, maupun sebagai negara perlintasan bagi negara-negara lain yang akan menggunakan wilayah udara Indonesia[39]. Posisi Indonesia yang berada di persilangan antara dua benua dan samudera menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah ruang udara yang strategis bagi jalur penerbangan udara yang dapat dilintasi oleh berbagai negara di dunia untuk berbagai kepentingan. Dampak dari posisi Indonesia yang strategis ini bila tidak didukung oleh sarana teknologi yang mutakhir, ilmu pengetahuan serta sumber daya manusia yang mampu mengoperasikan teknologi untuk menangkal ancaman yang mungkin timbul demi pertahanan negara yang akan mengganggu keutuhan wilayah kedaulatan negara.
Description: ttp://www.kawasanperbatasan.com/wp-content/uploads/2012/01/Indon-4.jpg 
http://www.kawasanperbatasan.com/wp-content/uploads/2012/01/Indon-4.jpg
Salah satu cara untuk mempertahankan kedaulatan udara Indonesia dapat menetapkan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defence Identification Xone/ADIZ). ADIZ digunakan untuk menangkal ancaman dari luar dengan cara mengidentifikasi setiap pesawat baik pesawat sipil maupun militer yang akan masuk ke wilayah udara suatu negara. ADIZ sudah digunakan oleh Amerika dan Canada. ADIZ digunakan untuk menunjang dan memperkuat sistem pertahanan udara suatu negara atau sering disebut dengan asas bela diri (self defence[40]). Asas bela diri dengan menggunakan ADIZ merupakan cara yang tepat dan proporsinal. Penetapan wilayah ADIZ dapat dimulai dari wilayah teritorial suatu negara hingga mencapai ruang udara diatas laut bebas yang berbatasan dengan negara itu. Penetapan ADIZ tidak berdampak pada perluasan wilayah territorial suatu negara atas laut lepas. Penetapan ADIZ ini digunakan semata-mata untuk keamanan dan pertahanan negara dari ancaman yang masuk ke wilayah udara negara itu. Dampak dari penetapan ADIZ adalah setiap pesawat baik sipil maupun militer yang akan masuk ke wilayah negara itu akan melaporkan diri kepada pengawas penerbangan. Biasanya ADIZ dikelola oleh militer negara itu (Angkatan Udara negara itu). Meskipun sistem pelaporan ADIZ berbeda dengan pengaturan lalu lintas udara sipil. ADIZ akan lebih optimal dalam menangkal bahaya yang masuk dari wilayah udara bila sistem ADIZ ini diintegrasikan dengan sistem radar yang terhubung dengan sistem persenjataan pertahanan udara[41]. Pemberlakuan ADIZ ini sejalan dengan teori penguasaan Cooper (Cooper’s Control Theory[42]) yaitu kedaulatan suatu negara ditentukan oleh kemampuan negara itu untuk mempertahankan dan menguasai ruang yang ada diatas wilayahnya atau disebut juga dengan ruang udaranya.
Dalam konteks Indonesia penggunaan ADIZ ini sangat tepat mengingat: luas wilayah Indonesia; penetapan jumlah kepulauan yang masuk ke wilayah kedaulatan NKRI belum dapat dipastikan; sengketa perbatasan dengan negara tetangga belum dapat sepenuhnya diselesaikan. Penggunaan ADIZ ini seiring dengan pertahanan kedaulatan NKRI mengingat beberapa kali dari tahun 2009 sampai awal tahun 2011 tercatat 14 pelanggaran wilayah udara RI,  wilayah udara Indonesia yang dilintasi oleh pesawat dari negara lain tanpa ijin dari Indonesia. Potensi ancaman bagi Indonesia yang wilayah udaranya sudah beberapa kali dilanggar oleh pesawat berbendera negara lain sangat tinggi. 
Penggunaan ADIZ di Indonesia didukung oleh radar militer (TNI AU) yang berada di Tanjung Kait, Ranai, Tanjung Pinang, Pemalang, Congot, Cibalimbing, Ngeliyep, Ploso, Balikpapan, Kwandang, Tarakan, Lhokseumawe, Dumai, Sabang, Sibolga, Buraen, Tanjung Warari, Timika, Merauke, dan Saumlaki. Wilayah kedaulatan RI yang terdeteksi oleh radar militer belum seluruhnya. Sedangkan dukungan dari radar sipil berada di Soeta, Juanda, dan Ngurah Rai. Penggunaan ADIZ di Indonesia baru meliputi wilayah Jawa, Pulau Madura, sebagian kecil Sumatera Selatan, Lombok, Bali dan sebagian kecil Pulau Sumbawa bagian barat. ADIZ tidak berada di luar wilayah laut teritorial Indonesia. Ruang udara yang dapat terdeteksi baru sekitar 5.193.252 Km2 sehingga  proteksi ADIZ di Indonesia belum optimal karena proteksi belum mencakup seluruh wilayah kedaulatan Indonesia. Proteksi ADIZ  di Indonesia hanya digunakan untuk melindungi ibukota negara yaitu Jakarta dan obyek vital di Jawa dan sekitarnya. Sedangkan obyek vital negara lainnya seperti di Papua, Kalimantan dan Sulawesi belum dapat diproteksi.
Eksistensi Indonesia sebagai negara berdaulat yang mempunyai hak penuh untuk mengatur segala urusan dalam negeri sedang dipertanyakan oleh sebagian pihak dengan memberikan hak pengaturan lalu lintas ruang udaranya[43] kepada Singapura. Meskipun kedaulatan udara Indonesia tidak serta merta diambil oleh Singapura. Namun dengan memberikan hak pengaturan lalu lintas udara yang merupakan salah satu penjabaran dari hak Indonesia untuk mengatur urusan dalam negeri secara tidak langsung, Indonesia sudah mendelegasikan sebagian haknya untuk mengatur lalu lintas ruang udaranya kepada Singapura. Hal ini dapat dibaca sebagai pelemahan Indonesia di bidang pertahanan yang akan mengancam keamanan dan kedaulatan negara RI. Disisi yang lain Indonesia akan kehilangan pendapatan dari fee penerbangan yang melintas di wilayah udara Indonesia karena fee ini akan masuk ke negara lain (Singapure) meskipun pesawat suatu negara melewati ruang udara Indonesia.

IV.  Kesimpulan
Batas-batas wilayah darat, laut dan kepulauan perlu segera dipertegas dengan negara tetangga karena penentuan batas wilayah Indonesia akan menentukan luas wilayah Indonesia secara menyeluruh. Total luas wilayah teritorial darat, laut dan kepulauan, ZEE, dan BLK penting ditentukan karena berdampak pada luas wilayah ruang udara Indonesia. Semakin luas wilayah Indonesia maka semakin banyak keuntungan yang diperoleh oleh Indonesia. Keuntungan yang dapat diperoleh adalah kekayaan laut, bumi, dan udara dapat dioptimalkan penggunaannya untuk membiayai pembangunan Indonesia.
Berhubung belum ada ketegasan dan kejelasan akan wilayah-wilayah perbatasan, cakupan luas dan banyaknya pulau-pulau yang tersebar di wilayah perairan Indonesia, luas wilayah territorial laut, lintas kontinen, dan zone ekonomi ekslusif maka penerapan cakupan wilayah ADIZ diperluas sampai ke perbatasan laut lepas diseluruh wilayah perairan Indonesia. Perluasan ADIZ Untuk kepentingan pertahanan dan keamanan Indonesia yang mencakup keamanan di wilayah darat, laut dan udara. Wilayah perluasan ADIZ sebaiknya mencakup wilayah teritori Indonesia sampai ke laut bebas yang berbatasan dengan wilayah Papua Barat, Papua Timur, Nusa Tenggara Barat dan Timur, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera. Sehingga Indonesia dapat mendeteksi seluruh pesawat sipil maupun militer yang akan melintasi wilayah udara Indonesia. Perluasan wilayah ADIZ ini sangat diperlukan dalam upaya Indonesia untuk mempertahankan dan menjaga seluruh wilayah kedaulatannya.
Menurut Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil, Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan dari 92 pulau terdepan Indonesia ada 61 pulau yang belum berpenduduk[44]. Untuk wilayah-wilayah kepulauan yang belum berpenduduk perlu dilakukan effective occupation.
Penting bagi kita untuk mengklarifikasi berapa pulau yang kita miliki? Klarifikasi ini diperlukan karena terkait langsung dengan luas dan batas-batas wilayah Indonesia khususnya batas wilayah udara Indonesia. Bila batas-batas ini tidak jelas maka sulit bagi Indonesia untuk mengatur dan mendayagunakan wilayah udaranya secara optimal. Klarifikasi ini juga diperlukan dalam hal penentuan Hak Lintas di wilayah udara di atas kepulauan Indonesia sebagaimana diatur dalam Konvensi Chicago dan hukum internasional lainnya. Ketidakjelasan batas wilayah serta belum dilengkapinya sarana pertahanan dan keamanan udara telah berdampak pada tidak dipatuhinya aturan hukum udara oleh negara-negara lain yang hendak melintas diatas wilayah udara Indonesia.  

V.   Daftar Pustaka
Peraturan:
1.     Convention on the Rights and Duties of States (Konvensi Montevideo). 165 LNTS 19. signed at Montevideo on 26 Desember 1933. entered into force on 26 Desember 1934.
2.     The Vienna Convention on the Law of Treaties 1969. 23 May 1969. came into forced on 27 January 1980.
3.     Convention on International Civil Aviation. ICAO Doc. 7300/6 (1980). signed on 7 December 1944.
4.     United Nations Convention on the Law of the Sea (1982). 1833 UNTS 3. 10 Desember 1982. came in to force on 16 November 1994.
5.     Charter of the United Nations (1945). 892 UNTS 119. 26 Juni 1945. Pasal 2 (4).
6.     Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. 1945. Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. 15 Februari 1946. Pasal 33 (3).
7.     Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 1985. tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea. (Konvensi Perserikataan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Lembar Negara No. 76/1985. Tambahan Lembar Negara No. 3319.

Kasus Internasional:
1.     ICJ Report of Judgments. Advisory Opinions and Orders. Case Concerning Sovereignty Over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia). Judgment of 17 December 2002.
2.     North Sea Continental Shelf. Judgment, ICJ Reports 1969.
3.     Kasikilil/Sedudu Island (Botswana/Namibia). Judgement, ICJ Reports 1999 (II).
4.     Frontier Dispute (Burkina Faso/Republic of Mali). I.C.J. Reports 1986.
5.     Territorial Dipute (Libyan Arab Jamahiriya/Chad). I.C.J. Reports 1994.
6.     Land and Maritime Boundary between Cameroon and Nigeria (Camerron v. Nigeria: Equatorial Guinea intervening). Judgment. Merits. I.C.J. Reports 2002.

Artikel:
1.     Direktori Pulau-Pulau Kecil Indonesia. diakses dari http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/298. tanggal 30 Juni 2014.
2.     Tuhulele Popi. “Pengaruh Keputusan Mahkamah Internasional Dalam Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitian Terhadap Penetapan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia”. Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2, April – Juni 2011.
3.     Dewi Tania Chaya Utami. “Perkembangan Perundingan Penetapan Batas Zona Ekonomi Ekslusif RI-Filipina”. tersedia di http://www. setkab.go.id, 20 Maret 2014 (diakses tanggal 24 Juni 2014).
4.     Datinlitbang. “Implementasi Strategi Pertahanan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia Di Propinsi Kalimantan Timur. Tersedia di http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/implementasi-strategi-pertahanan-wilayah-perbatasan-ri-malaysia-di-propinsi-kalimantan-timur tanggal 27 Juni 2014.
5.     Anonim. “Permasalahan Kelautan Yang Muncul Dalam Negara Kepulauan Indonesia”. Tersedia di http://www.sumbawanews.com/berita/opini/permasalahan-kelautan-yang-muncul-dalam -negara-kepulauan-indonesia/pdf.html.
6.     Brigjen TNI Dody Usodo Hargo. “Jumlah Pulau di Indonesia”. Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional. tersedia di http://www.dkn.go.id., lihat juga Dr. U. Paonganan, R.M. Zulkipli, K. Agustina. Buku 9 Perspektif Menuju Masa Depan Maritim Inodnesia.
7.     Susanto Bambang. “Kajian Yuridis Permasalahan Batas Maritim Wilayah Laut Republik Indonesia” (Suatu pandangan TNI AL Bagi Pengamanan Batas Wilayah Laut RI). Indonesia Journal of International Law.
8.     Ahmad. “Awal Menengok Jumlah Pulau di Kota Batam”. tersedia di http://sekilaspengalamanku.blogspot.com/2014/05/menengok-jumlah-pulau-di-pemerintah.html tanggal 28 Juni 2014.
9.     Batubara Harmen. “Pertahanan dan Pengamanan di Wilayah Perbatasan”. Opini Kompas. 23 July 2010.
10.  Anonym. “Urgensi Pengaturan Lalu Lintas Ruang Udara Indonesia guna Memantapkan Stabilitas Keamanan Wilayah Udara Nasional Dalam Rangka Memperkokoh Kedaulatan NKRI”. Jurnal Kajian Lemhannas RI. edisi 16. November 2013.
11.  Ahmad. “Ketentuan dan Penetapan Air Defence Identification Zone (ADIZ)”.
12.  Suradnata Emaya. Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan NKRI. Suara Bebas. Jakarta. 2005.
13.  Munir Saiful, “Kesepakatan Indonesia-Malaysia Soal Sengekta Tanjung Datu”, SindoNews.com, 28 Mei 2014, tersedia di http://nasional.sindonews.com/read/867895/14/kesepakatan-indonesia-malaysia-soal-sengketa-tanjung-datu diakses tanggal 27 Juni 2014.

Buku:
1.     Aust Anthony. Handbook of International Law. Second Edition. Cambridge University Press.
2.     Damrosch L.F., Henkin L., Pugh R.C., Schachter O., Smit. H. International Law – Cases and Materials. ed. 4. 2001. West Group.
3.     Abdurrasyid Priyatna. Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967. Binacipta. Bandung. 1977. hlm. 103.


Situs internet:



[1] Convention on the Rights and Duties of States (Konvensi Montevideo), 165 LNTS 19, signed at Montevideo on 26 Desember 1933, entered into force on 26 Desember 1936, Pasal 1
[2] Yang dimaksud dengan kepulauan terdepan adalah pulau-pulau yang terletak di paling ujung wilayah perairan Republik Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas.


[3] Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, 1155 UNTS 331, 22 May 1969, came into forced on 27 January 1980, Article 2 (1) (a) “Treaty means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.”
[4] ICJ Report of Judgments, Advisory Opinions and Orders, Case Concerning Sovereignty Over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia), Judgment of 17 December 2002, paragraph 43, “The court considers that, in the absence of an express provision on this effect in the text of a treaty, it is difficult to envisage that the States parties could seek to attribute an additional function to a boundary line”.
[5] Convention on International Civil Aviation, ICAO Doc. 7300/6 (1980), signed on 7 December 1944, Pasal 1 “The Contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory”, Pasal 2 “For the purposes of this Convention the territory of a State shall be deemed to be the land areas and territorial waters adjacent thereto under the sovereignty, suzerainty, protection of mandate of such State”.
[6] Direktori Pulau-Pulau Kecil Indonesia, diakses dari http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/298 tanggal 30 Juni 2014.
[7] Tuhulele Popi, “Pengaruh Keputusan Mahkamah Internasional Dalam Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitian Terhadap Penetapan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia”, Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2, April – Juni 2011.
[8] Aust Anthony, Handbook of International Law, Second Edition, Cambridge University Press, hlm. 10, “…the ICJ at Barcelona Traction case “pointed out that certain obligations of a State are owed to all States or erga omnes (to all the world).”
[9] Ibid. hlm. 38, “…A party to the treaty cannot invoke a fundamental change of circumstances as a ground for terminating it, …”
[10] Sebagai contoh klaim wilayah dalam kasus North Sea Continental Shelf, Judgment, ICJ Reports 1969, hal 3, Paragrah 46, “…The apputenance of a given area, considered as an entity, in no way governs the precise delimitation of its boundaries, any more than uncertainty as to boundaries can affect territorial rights. There is for instance no rule that the land frontiers of a State must be fully delimited and defined, and often in various places and for long periods they are not...”
[11] United Nations Convention on the Law of the Sea (1982), 1833 UNTS 3, 10 Desember 1982, came in to force on 16 November 1994, Pasal 76 “The continental shelf of a costal State comprises the sea-bed and subsoil of the submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin, or to a distance of 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured where the outer edge of the continental margin does not extend up to the distance.”
[12] Ibid. Pasal 55 “the exclusive economic zone is an area beyond and adjacent to the territorial sea, subject to the specific legal regime established in this Part, under which the rights and jurisdiction of the coastal Stat and the rights and freedoms of other States are governend by the relevant provisions of his Convention”.
[13] Ibid Pasal 57 “The exclusive economic zone shall not extend beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured.”
[14] Ibid. Pasal 74 “The delimitation of the exclusive economic zone between States with opposite or adjacent coasts shall be effected by agreement on the basis of international law, as referred to in Article 38 of the Statute of the International Court of Justice (ICJ), in order to achieve equitable solution”.
[15] Dewi Tania Chaya Utami, “Perkembangan Perundingan Penetapan Batas Zona Ekonomi Ekslusif RI-Filipina”, tersedia di http://www.setkab.go.id, 20 Maret 2014 (diakses tanggal 24 Juni 2014).
[16] Munir Saiful, “Kesepakatan Indonesia-Malaysia Soal Sengekta Tanjung Datu”, SindoNews.com, 28 Mei 2014, tersedia di http://nasional.sindonews.com/read/867895/14/kesepakatan-indonesia-malaysia-soal-sengketa-tanjung-datu diakses tanggal 27 Juni 2014.
[18] Datinlitbang, “Implementasi Strategi Pertahanan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia Di Propinsi Kalimantan Timur, tersedia di http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/implementasi-strategi-pertahanan-wilayah-perbatasan-ri-malaysia-di-propinsi-kalimantan-timur tanggal 27 Juni 2014.
[19] Diakses di website: http://www.indomaritimeinstitute.org/?p=1341
[20] UNCLOS, Op. Cit., dan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang “Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikataan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut), Lembar Negara No. 76/1985, Tambahan Lembar Negara No. 3319.
[21] Anonim, “Permasalahan Kelautan Yang Muncul Dalam Negara Kepulauan Indonesia”, tersedia di http://www.sumbawanews.com/berita/opini/permasalahan-kelautan-yang-muncul-dalam -negara-kepulauan-indonesia/pdf.html
[22] UNCLOS, Op. Cit., Pasal 47 (1) “An archipelagic State may draw straight archipelagic baselines joining the outermost points of the outermost islands and drying reefs of the archipelago provided that within such baselines are included the main islands and an area in which the ratio of the area of the water to the area of the land, including atolls, is between 1 to 1 and 9 to 1.” Article 47 (2) “The length of such baselines shall not exceed 100 nautical miles, except that up to 3 per cent of the total number of baselines enclosing any archipelago may exceed that length, up to a maximum length of 125 nautical miles.”
[23] Brigjen TNI Dody Usodo Hargo, “Jumlah Pulau di Indonesia”, Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional, tersedia di http://www.dkn.go.id, lihat juga Dr. U. Paonganan, R.M. Zulkipli, K. Agustina, Buku 9 Perspektif Menuju Masa Depan Maritim Inodnesia.
[24] Tri Patmasari, Ka. Pusat PKPL, korespondensi melalui email tertanggal 13 Juli 2014.
[25] Diakses dari http://sekilaspengalamanku.blogspot.com/2014/05/menengok-jumlah-pulau-di-pemerintah.html pada tanggal 28 Juni 2014. Dari 92 pulau ada 12 pulau yang perlu diperhatikan secara khusus yaitu: 1. Pulau Rondo terletak di ujung barat laut Propinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD). Disini terdapat Titik dasar TD 177. Pulau ini adalah pulau terluar di sebelah barat wilayah Indonesia yang berbatasan dengan perairan India; 2. Pulau Berhala terletak di perairan timur Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Di tempat ini terdapat Titik Dasar TD 184. Pulau ini menjadi sangat penting karena menjadi pulau terluar Indonesia di Selat Malaka, salah satu selat yang sangat ramai karena merupakan jalur pelayaran internasional; 3. Pulau Nipa adalah salah satu pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura. Secara Administratif pulau ini masuk kedalam wilayah Kelurahan Pemping Kecamatan Belakang Padang Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau. Pulau Nipa ini tiba tiba menjadi terkenal karena beredarnya isu mengenai hilangnya/ tenggelamnya pulau ini atau hilangnya titik dasar yang ada di pulau tersebut. Hal ini memicu anggapan bahwa luas wilayah Indonesia semakin sempit. Pada kenyataanya, Pulau Nipa memang mengalami abrasi serius akibat penambangan pasir laut di sekitarnya. Pasir-pasir ini kemudian dijual untuk reklamasi pantai Singapura. Kondisi pulau yang berada di Selat Philip serta berbatasan langsung dengan Singapura disebelah utaranya ini sangat rawan dan memprihatinkan.Pada saat air pasang maka wilayah Pulau Nipa hanya terdiri dari Suar Nipa, beberapa pohon bakau dan tanggul yang menahan terjadinya abrasi. Pulau Nipa merupakan batas laut antara Indonesia dan Singapura sejak 1973, dimana terdapat Titik Referensi (TR 190) yang menjadi dasar pengukuran dan penentuan media line antara Indonesia dan Singapura. Hilangnya titik referensi ini dikhawatirkan akan menggeser batas wilayah NKRI; 4. Pulau Sekatung merupakan pulau terdepan Propinsi Kepulauan Riau di sebelah utara dan berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 030 yang menjadi Titik Dasar dalam pengukuran dan penetapan batas Indonesia dengan Vietnam; 5. Pulau Marore terletak di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 055.; 6. Pulau Miangas terletak di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan Pulau, Mindanau, Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 056.; 7. Pulau Fani terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Papua Barat, berbatasan langsung dengan Negara kepulauan Palau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 066; 8. Pulau Fanildo terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Papua Barat, berbatasan langsung dengan Negara kepulauan Palau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 072; 9. Pulau Bras terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Irian Jaya Barat, berbatasan langsung dengan Negara Kepulauan Palau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 072A; 10. Pulau Batek terletak di Selat Ombai, Di pantai utara Nusa Tenggara Timur dan Oecussi Timor Leste. Di pulau ini belum ada Titik Dasar; 11. Pulau Marampit di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan Pulau Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 057; 12. Pulau Dana terletak di bagian selatan Propinsi Nusa Tenggara Timur, berbatasan langsung dengan Pulau Karang Ashmore Australia. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 121.
[26] Susanto Bambang, “Kajian Yuridis Permasalahan Batas Maritim Wilayah Laut Republik Indonesia” (Suatu pandangan TNI AL Bagi Pengamanan Batas Wilayah Laut RI), Indonesia Journal of International Law.
[27] Ahmad Awal, “Menengok Jumlah Pulau di Kota Batam”, tersedia di http://sekilaspengalamanku.blogspot.com/2014/05/menengok-jumlah-pulau-di-pemerintah.html tanggal 28 Juni 2014.
[28] Sovereignty over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia), Judgement, I.C.J. Reports 2002.
[29] Charter of the United Nations (1945), 892 UNTS 119, 26 Juni 1945, Pasal 2 (4).
[30] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, 1945, Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7, 15 Februari 1946, Pasal 33 (3).
[31] Aust Anthony, Op. Cit., hlm. 34
[32] Souvereignty, Op. Cit., hlm. 667 , paragraph 88, lihat juga kasus, Frontier Dispute (Burkina Faso/Republic of Mali), Judgement, I.C.J. Report 1986, hlm. 582, paragrap. 54; Kasikilil/Sedudu Island (Botswana/Namibia), Judgement, I.C.H. Reports 1999 (II), hlm. 1098, paragrap. 84
[33] Damrosch L.F., Henkin L., Pugh R.C., Schachter O., Smit. H., International Law – Cases and Materials, ed. 4, 2001, West Group, hlm. 317. “...The Growing insistence with which international law, ever since the midle of the 18th century, has demanded that the occupation shall be effective would be inconceivable, if effectiveness were required only for the act of acquisition and not equally for the maintenance of the right. If the effectiveness has above all been insisted on in regard to occupation, this is because the question rarely arises in connection with territories in which there is already an established order of things. Territorial sovereignty, as has already been said, involves the exclusive right to display the activities of a State”.
[34] Sovereignty, Op. Cit., hlm. 685, paragrap 148.
[35] Ibid. hlm. 678, paragraph 126,  [...] the Judgment in the Frontier Dispute (Burkina Faso/Republic of Mali) (I.C.J. Reports 1986, p. 587, para 63; lihat juga, Territorial Dipute (Libyan Arab Jamahiriya/Chad), I.C.J. Reports 1994, p. 38, paras. 75-76; Land and Maritime Boundary between Cameroon and Nigeria (Camerron v. Nigeria: Equatorial Guinea intervening), Judgment, Merits, I.C.J. Reports 2002, hal. 353-354, paragraph. 68.
[36] Concerning Territorial and Maritime Dispute Between Nicaragua and Honduras in the Caribbean Sea (Nocaragua v. Honduras), I.C.J. Reports 1999, paras 168-208, “...a claim to sovereignty based not upon some particular act or title such as a treaty of cession but merely upon continued display of authority, involves two elements each of which must be shown to exist: the intentaion and will to act as sovereign, and some actual exercise of display of such authority.”
[37] Batubara Harmen, “Pertahanan dan Pengamanan di Wilayah Perbatasan”, Opini Kompas, 23 July 2010.
[38] Suradnata Emaya, Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan NKRI, Suara Bebas, Jakarta, 2005, hlm. 35.
[39] Anonym, “Urgensi Pengaturan Lalu Lintas Ruang Udara Indonesia guna Memantapkan Stabilitas Keamanan Wilayah Udara Nasional Dalam Rangka Memperkokoh Kedaulatan NKRI”, Jurnal Kajian Lemhannas RI, Edisi 16, November 2013, hlm 72.
[40] Charter of the United Nations (1945), 892 UNTS 119, Pasal 51 “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self defence in an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take anytime such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”
[41] Ahmad, “Ketentuan dan Penetapan Air Defence Identification Zone (ADIZ)”.
[42] Abdurrasyid Priyatna, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967, Binacipta, Bandung, 1977, hlm. 103, ”… in the absence of international agreement, that the territory of every state extends upward as far into space as it is physically and scientifically possible for any one state to control the regions of space directly above it”.
[43] Flight Information Region (FIR) adalah suatu ruang udara dengan batas-batas tertentu yang telah ditentukan dimana pelayanan informasi penerbangan (flight information service) dan pelayanan siaga (alerting service) diberikan. FIR Indonesia yang dikelola oleh Singapure berada di wilayah kepulauan Riau.
[44] Diakses dari http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/home_page tanggal 30 Juni 2014. Yaitu Pulau Ararkula di Maluku, Pulau Asutubun di Maluku, Pulau Batarkusu di Maluku, Pulau Batek di Nusa Tenggara Timur, Pulau Batubawang di Sulawesi Utara, Pulau Batuberantai di kepulauan Riau, Pulau Batugoyang di Maluku, Pulau Batumandi di Riau, Pulau Benggala di Aceh, Pulau Berhala di Sumatera Utara, Pulau Bertuah di Lampung, Pulau Bongkil di Sulawesi Utara, Pulau Damar di Kepulauan Riau, Pulau Dana di Nusa Tenggara Timur, Pulau Deli di Banten, Pulau Dolangan di Sulawesi Tengah, Pulau Enu di Maluku, Pulau Fani di Papua Barat, Pulau Fanildo di Papua, Pulau Gosong Makasar di Kalimantan Utara, Pulau Intata di Sulawesi Utara, Pulau Karang di Maluku, Pulau Karaweira di Maluku, Kepala di Kepulauan Riau, Pulau Kultubai Selatan di Maluku, Pulau Kultubai Utara di Maluku, Pulau Laag di Papua, Pulau Manggudu di Nusa tenggara Timur, Pulau Mangkai di Kepulauan Riau, Pulau Mega di Bengkulu, Pulau Miossu di Papua Barat, Pulau Moff di Papua Barat, Pulau Ndana di Nusa Tenggara Timur, Pulau Ngekel di Jawa Timur, Pulau Niau di Sumatera Barat, Pulau Nipa di Kepulauan Riau, Pulau Nusabarong di Jawa Timur, Pulau Nusamanuk di Jawa Barat, Pulau Panikan di Jawa Timur, Pulau Putri di Kepulauan Riau, Pulau Raya di Aceh, Pulau Rondo di Aceh, Pulau Rusa di Aceh, Pulau Salando di Sulawesi Tengah, Pulau Salaut Besar di Aceh, Pulau Sambit di Kalimantan Timur, Pulau Sebetul di Kepulauan Riau, Pulau Sekatung di Kepulauan Riau, Pulau Semiun di Kepulauan Riau, Pulau Sentut di Kepulauan Riau, Pulau Senua di Kepulauan Riau, Pulau Sepatang di Nusa Tenggara Barat, Pulau Sibarubaru di Sumatera Barat, Pulau Simeulue Cut di Aceh, Pulau Tokongbelayar di Kepulauan Riau, Pulau Tokongboro di Kepulauan Riau, Pulau Tokonghiu Kecil di Kepulauan Riau, Pulau Tokongmalangbiru di Kepulauan Riau, Pulau Tokongmalangbiru di Kepulauan Riau, Pulau Tokongnanas di Kepulauan Riau, Pulau Wunga di Sumatera Utara, dan Pulau Yiew di Maluku utara.

Tidak ada komentar: