Rabu, 08 April 2009

Catatan Evaluatif Perjalanan FKUB dan Penerapan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 & 8 Tahun 2006

“Dialog Yang Berkeadilan dan Kesejajaran Mencapai Kerukunan Sejati”
Dalam Kontek Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika
“Vera Wenny Soemarwi”

I. Pendahuluan

Upaya-upaya untuk mewujudkan kerukunan tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan dan upaya-upaya perwujudan nilai-nilai kebenaran, keadilan, perdamaian dan demokrasi. Tanpa upaya-upaya untuk mewujudkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, perdamaian dan demokrasi dalam system ketatanegaraan kita, niscaya kerukunan akan terus menerus terusik di Republik Indonesia ini. Perwujudan nilai-nilai kebenaran, keadilan, perdamaian dan demokrasi harus selalu diupayakan oleh seluruh elemen negara. Negara merupakan salah satu promotor kerukunan dan aktor kunci sebagai agen kerukunan di Republik Indonesia. Salah satu elemen negara yaitu pemerintah sangat berperan penting dalam mengupayakan nilai-nilai kebenaran, keadilan, perdamaian dan demokrasi demi terwujudnya kerukunan melalui kebijakan-kebijakannya, pembentukan peraturan perundang-undangan, pengimplementasian setiap peraturan perundang-undangan dan kegiatan kepemerintahan yang mempromosikan dan mendukung kerukunan bangsa. Perlu ketegasan dan kesatuan sikap serta niat atau political will dari pemerintah untuk mendukung kerukunan dengan berbagai kebijakan, peraturan perundang-undangan dan mengerahkan segala upayanya untuk melaksanakan segala kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mendukung kerukunan. Beberapa peraturan perundang-undangan, kebijakan dan tindakan pemerintah yang telah dilakukan dan perlu dioptimalkan dalam mengupayakan nilai-nilai kebenaran, keadilan, perdamaian dan demokrasi yang mendukung kerukunan diantaranya adalah amandemen UUD 1945, UU HAM, UU Hak-Hak Sipil, Politik, Ekonomi, Budaya, dan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 & 8 Tahun 2006, pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama dan forum-forum dialog lainnya, serta kegiatan kemanusiaan lintas agama. Sedangkan kebijakan dan tindakan pemerintah yang perlu diperhatikan lebih besar dan perjuangan lebih kuat dalam mengupayakan kebenaran, keadilan dan penegakan hukum dalam kasus-kasus pelanggaran hak-hak sipil masyarakat, politik, ekonomi, budaya dan HAM.
Sedangkan elemen bangsa lainnya seperti civil socity termasuk didalamnya adalah majelis agama, pemuka agama dan umat beriman/masyarakat juga mempunyai peran penting dalam mengupayakan dan mewujudkan kerukunan bangsa. Salah satu tindakan yang dapat diupayakan oleh civil society adalah mewujudkan dialog yang otentik antar umat beriman. Dialog yang otentik antar umat beriman adalah dialog yang mengakui kesejajaran iman dan hak-hak asasi individu dengan kesadaran total dan sikap terbuka untuk mengakui kebenaran sikap-sikap religiositas yang terlibat dalam dialog, bersikap adil terhadap antar dan inter umat beriman, selalu mengupayakan perdamaian dalam dialog dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi. Tanggung jawab civil society lainnya dalam menciptakan kerukunan bangsa ini dapat pula diwujudkan dengan penguatan iman para pengikut-pengikutnya (relasi internal diperkuat) dengan memberikan pemahaman sikap-sikap yang inklusif serta dukungan kebijakan-kebijakan pemuka agama yang mempromosikan dan mencerminkan ajaran yang inklusif dan mengedepankan hubungan antar iman yang harmonis.
Kesadaran akan pentingnya dialog untuk menyatukan pemahaman tentang iman, kesadaran bersama dan meningkatkan pemahaman sikap religiositas antar umat beriman dan upaya-upaya untuk menangkal meruncingnya perbedaan antar iman yang dapat memicu konflik sudah dirasakan oleh pemerintah, majelis agama/pemuka agama dan umat beriman/masyarakat. Perwujudan kesadaran bersama antara pemerintah, majelis agama/pemuka agama dan umat beriman/masyarakat akan pentingnya dialog dikongkritkan dengan sebuah tindakan affirmatif untuk membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Tindakan affirmatif dari pemerintah, majelis agama dan umat beriman dalam membentuk FKUB ini perlu diapresiasi sebagai sebuah langkah positif dalam mengupayakan kerukunan nasional. Di beberapa tempat yang pemuka-pemuka agamanya sudah mempunyai hubungan yang akrab dan kerap mengadakan saling kunjungan silahturahmi, FKUB sudah dapat menjalankan fungsinya sebagai fasilitator bagi terbangunnya niat untuk meningkatkan kebersamaan dan kerukunan. Tetapi di tempat-tempat lain di Indonesia yang hubungan antar agamanya kurang harmonis, FKUB perlu dilakukan penyempurnaan agar tujuan ideal pembentukannya dapat terwujud. Melalui proses forum diskusi nasional, rapat kerja FKUB se-Indonesia yang diselenggarakan di Bandung, dialog dengan anggota FKUB di 15 provinsi, saya berkesimpulan bahwa beberapa problem yang dihadapi oleh FKUB meskipun beragam tapi saya optimis bahwa problem tersebut dapat diatasi, untuk itu saya menawarkan untuk memberikan beberapa solusi perbaikan kelembagaan dan keanggotaan FKUB. Problem yang dihadapi oleh FKUB diantaranya adalah belum dibentuknya petunjuk teknis pelaksana kerja dan tata tertib FKUB, terlalu melekat erat FKUB kepada pemerintah daerah dan kurang dipahaminya prinsip-prinsip kerja anggota FKUB yang non-partisan, independent, otonom dan mandiri.

Kunci kekuatan suatu peraturan perundang-undangan agar mempunyai kukuatan mengikat dan ditaati oleh warga adalah pembentukan peraturan perundang-undangan harus berangkat dari kebutuhan, dapat menjawab kebutuhan warga masyarakatnya, serta diseminasi peraturan perundang-undangan itu pun efektif, efisien dan penyebaran kesetiap lapisan masyarakat merata dan pemahaman warga terhadap peraturan perundang-undangan itu secara menyeluruh atau komprehensif dan pemahaman warga terhadap peraturan perundang-undangan itu tidak bisa hanya bersifat parsial saja. Lantas bagaimana kekuatan PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 terhadap masyarakat, pemerintah, kelompok-kelompok orang beriman atau organisasi-organisasi agama? Apakah PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 ini bisa diterima? Apakah PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan ditaati oleh seluruh elemen bangsa ini? Problem-problem apa saja yang dihadapi oleh negara ini dalam memberlakukan PBM No. 9 & 8 Tahun 2006? Apakah belum optimalnya pemberlakukan PBM No 9 & 8 Tahun 2006 disebabkan karena sosialisasi belum menjangkau ke seluruh lapisan masyarakat, atau karena metode sosialisasi PBM No 9 & 8 Tahun 2006 yang sulit dicerna oleh masyarakat atau penyampaian materi PBM No 9 & 8 Tahun 2006 yang partial karena materi itu merupakan satu kesatuan dengan materi hak-hak sipil dan hak-hak asasi sedangkan sosialisasi yang telah dilakukan hanya menyampaikan materi PBM No 9 & 8 Tahun 2006 saja? Atau belum optimalnya pemberlakukan PBM No 9 & 8 Tahun 2006 dipengaruhi persoalan-persoalan kerukunan yang selama ini belum terselesaikan dan berimbas pada penerapan PBM No. 9 & 8 Tahun 2006?

II. Wajah kerukunan di Indonesia

Potret kerukunan di Republik Indonesia dewasa ini sangat gamang dan memerlukan upaya-upaya seluruh pihak dengan kesatuan niat untuk mengupayakannya. Di satu pihak kesadaran dan komitmen pemerintah untuk memperjuangkan terwujudnya kerukunan nyata (interreligious dialog) perlu ditingkatkan. Hendaknya usaha pemerintah dalam mengupayakan kerukunan jangan dikalahkan dengan dominasi kekuasaan bisnis-ekonomi neo-liberalisme yang sering kali mengkooptasi kekuasaan birokrasi, politik, kebudayaan teknologi dan kekuasaan agama di pihak lain. Apabila pihak pemerintah/negara yang terlalu kuat untuk mengatur kehidupan interrioritas beragama dalam masyarakat melalui peraturan perundang-undangannya atau produk politik lainnya maka prioritas pemerintah hanya mempertimbangkan kepentingan politik-ekonomi sesaat. Penerapan sistem federalisme yang serba tanggung ini telah menyebabkan beberapa gesekan-gesekan dalam penentuan pemekaran wilayah. Gesekan-gesekan dalam pemekaran wilayah seringkali dibarengi dengan sentimen keagamaan dan suku/etnis tertentu. Sentimen-sentimen keagamaan atau suku/etnis ini seringkali mengganggu relasi antar warga dan kerukunan di wilayah itu.
Degradasi nilai-nilai tradisi yang sudah turun temurun dipraktekan oleh masyarakat adat perlahan tapi pasti telah berganti dengan nilai-nilai neo-liberalisme. De facto yang ’menyelamatkan’ dan merupakan kekuatan dari Republik Indonesia dalam konsep kerukunan beragama adalah nilai-nilai tradisi yang sangat kuat dan ajaran-ajaran akan sikap toleransi. Konsep kerukunan beragama yang selama ini telah menyelamatkan Republik Indonesia ini bukan merupakan suatu tindakan pemerintah yang terlalu mengintervensi interrioritas beragama melainkan lebih karena inisiatif warga beragama dalam mengupayakan humanitarian interreligious dialog yang informal dan praktis antar komunitas dalam masyarakat (atau dikenal dengan sebutan ’rembuk’). Informal humanitarian interreligious dialog/rembuk lebih sebagai wujud ’conflict resolution’ demi kepentingan praktis survival system dan kelangsungan hidup bersama antar umat beragama dan integrasi Republik Indonesia.

III. Kendala dan solusi dalam dialog yang otentik antar umat beriman

Tujuan dari dialog antar iman yang dilakukan oleh para pemuka dan umat beragama yang berbeda-beda diantaranya adalah antar agama dapat saling memperkaya religiositas atau spiritualitas para peserta dialog. Tentu dialog antar iman yang dinamis dapat tercipta dengan prinsip bahwa para pelaku dialog memahami akan kesejajaran dan kesamaan sebagai pribadi yang mandiri dan otonom. Dalam pertemuan antar iman itu akan ditemukan nilai-nilai luhur yang akan mempersatukan kita dan temuan tersebut akan dijadikan milik bersama. Perbedaan antar iman akan dijadikan bahan untuk saling melengkapi tanpa adanya paksaan untuk dipahami karena merasa diri paling benar dan paling bermartabat, dan kemudian jadi milik bersama juga. Di dalam dialog antar iman akan terjadi pertukaran informasi mengenai sejarah masing-masing agama, mengenai tradisi yang berkembang di dalam masing-masing agama, mengenai alasan dan keterangan tentang praktek-praktek keagamaan. Yang jelas, dalam dialog antar iman akan terjadi komunikasi yang diharap semakin mendalam dan masing-masing dapat mengungkapkan diri, tidak hanya untuk diakui keberadaannya, tetapi juga untuk menerangkan makna agamanya demi pengembangan kerukunan.
Dewasa ini antar umat beriman sering mengalami kendala dalam berdialog hal ini disebabkan karena:
1. Fakta bahwa setiap agama memiliki doktrin yang berbeda-beda, perbedaan dalam doktrin setiap agama telah mewarnai hubungan atau relasi antar agama sehingga seringkali perbedaan ini menjadi faktor penghambat untuk melakukan dialog yang otentik.
2. Perkembangan pengikut faham fanatisme sempit keagamaan sulit untuk diatasi oleh para pemuka-pemuka agamanya. Pengikut faham fanatisme sempit keagamaan ini telah disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan sosial, ekonomi dan politik pihak-pihak tertentu sehingga seringkali menciptakan potensi munculnya ketegangan baik dalam berdialog maupun dalam pergaulan sehari-hari antar agama.
3. Klaim-klaim kemutlakan atas kebenaran membuat para pengikut agama tersebut tidak mungkin mengakui kebenaran agama lainnya. Klaim kemutlakan ini terkadang timbul dari semangat keagamaan yang berlebihan atau bahkan yang lebih ekstrim lagi klaim kemutlakan timbul karena pemahaman akan keagamaan yang masih sempit, hal ini sangat bertentangan dengan prinsip dasar masing-masing ajaran agama yang pada dasarnya setiap agama mengajarkan: Tuhan menciptakan umat manusia dan Tuhan menyayangi seluruh ciptaannya serta Tuhan ingin menyelamatkan semua ciptaannya.
4. Adanya kecenderungan untuk memanfaatkan umat beriman dan agama untuk kepentingan-kepentingan individu para pemuka-pemuka agamanya. Setiap pemuka agama mempunyai tanggungjawab moral untuk menjaga agama dan pengikutnya agar tidak disalahgunakan dan dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan politik yang sempit, memenuhi ambisi-ambisi pribadi (bisa bermotif ekonomi, politik, sosial, dll)
5. Dewasa ini sebagian kelompok umat beriman telah memandang bahwa hubungan antar iman sering kali dijalin dengan landasan pada kecurigaan, semangat kebencian dan permusuhan antar umat. Terkadang sikap kecurigaan, kebencian dan permusuhan ini dipengaruhi oleh: catatan sejarah suram masa lalu (mengenai konflik antar agama atau konflik kepentingan lainnya, invasi, dan penguasaan suatu wilayah), kelompok disorientalis (kelompok yang senang membuat karya-karya yang menyimpang dari ajaran iman orang lain bahkan melecehkan keyakinan iman suatu kelompok dengan tujuan membuat hubungan antar umat beriman tidak harmonis), dan kecurigaan akan aktifitas penyebaran agama (di Kristen missi atau Kristenisasi, di Islam dakwah atau Islamisasi, di Hindu Hindunisasi, di Budha Budhanisasi, di Konghuchu itu Konghuchunisasi). Tiga (3) isu yang mudah dipolitisasi itu belum berhasil dipecahkan dan selalu diwariskan dari generasi ke generasi dan disebarkan ke lintas pulau, negara dan benua. Bila kita secara jernih melihat pada ketiga persoalan itu yang oleh sebagian orang dianggap itu merupakan masalah utama atau penting. Sedangkan persoalan-persoalan yang lebih penting yang perlu untuk dipertimbangkan untuk dijadikan gerakan bersama lintas iman seperti persoalan kemiskinan, krisis ekonomi, pembodohan, pendidikan yang tidak terjangkau oleh masyarakat dari ekonomi lemah, ketidakadilan, dan pelanggaran HAM warga.
Catatan sejarah suram masa lalu: bentuk-bentuk penjajahan atau invasi suatu Negara atau suatu kelompok yang berkuasa atau powerfull ke negara lain yang lebih lemah atau ke kelompok lain yang lebih lemah. Contohnya: ketika Belanda menjajah Indonesia selama 320 tahun dan kegiatan missi yang mengikuti kegiatan invasi Belanda ke Indonesia. Trauma masa penjajahan zaman Belanda telah sangat membekas di beberapa golongan masyarakat di Indonesia sehingga sering trauma ini mengganggu interaksi antar umat beragama khususnya dalam berdialog. Begitu pula kegiatan invasi USA ke Afganistan-pun yang dipandang sebagai kolonialisasi Kristen terhadap kaum Muslim di Afganistan telah mempengaruhi relasi antar agama di Indonesia. Bila kita lihat dengan jernih invasi USA ke Afganistan ini murni merupakan tindakan ekonomi dan bukan berlandaskan agama tertentu.
Kelompok disorientalis: penganut agama sering kali merasa tersinggung terhadap tindakan-tindakan kaum disorientalis karena kaum disorientalis sering kali menciptakan karya-karya yang menyinggung perasaan para penganut agama lain. Tindakan mereka sengaja dilakukan dengan tujuan menimbulkan kericuhan. Karya-karya kaum disorientalis ini dapat berupa karikatur atau karya-karya seni lainnya yang merendahkan nabi besar suatu agama, orang- suci agama tertentu atau mempropagandakan anti agama tertentu dengan memutarbalikkan suatu fakta-fakta dan fondasi teori ajaran agama dengan cara mendistorsi dan menyimpangkan persepsi yang utama dari prinsip-prinsip ajaran agama.
Aktifitas penyebaran agama: kegiatan pelayanan kemanusiaan yang menonjol berupa bantuan pendidikan, kesehatan, keuangan, pertolongan kepada korban bencana alam dan bencana buatan manusia, dan bantuan-bantuan kemanusiaan lainnya terkadang dipandang dengan rasa curiga yang penuh dan perlu diwaspadai sebagai sebuah tindakan yang berkedok untuk penyebaran agama tertentu.
Sikap optimisme tetap diperlukan dalam mengupayakan dialog yang otentik antar iman. Sikap optimisme perlu pula dibarengi dengan beberapa tindakan-tindakan positif dalam menghadapi kendala-kendala tersebut. Tindakan-tindakan positif yang dapat saya tawarkan dalam mewujudkan dialog yang otentik antar umat beriman adalah:
· Para teolog-teolog besar dari masing-masing agama bertemu dalam forum dialog antar iman untuk menjelaskan dasar-dasar agama masing-masing dan menetralkan atau mereposisi klaim-klaim kemutlakan atas kebenaran suatu ajaran agama. Pemilihan topik-topik dialog diambil dari beberapa prinsip-prinsip ajaran agama yang sering menimbulkan kecurigaan dan gesekan diantara umat beriman lainnya. Penentuan topik itu pun perlu disepakati oleh para teolog-teolog itu. Pentingnya sikap keterbukaan dan kesiapan untuk mendengarkan dan menerima perbedaan dari para teolog-teolog yang akan berdialog ini menjadi kunci keberhasilan dalam berdialog. Para teolog diharapkan untuk menghasilkan kesepakatan-kesepakatan dan kesimpulan bersama. Kesepakatan dan hasil kesimpulan bersama ini akan disosialisasikan oleh para teolog ke komunitasnya. Sehingga komunitas kaum beriman lainnya mendapatkan pemahaman akan perbedaan dari masing-masing ajaran agama dari para teolog-teolognya.
· Kesatuan sikap dan niat dari para pemuka agama untuk terus mengupayakan, menghimbau dan melakukan pembinaan kedalam (intern keagamaan) para umatnya untuk meluruskan ajaran-ajaran agama yang dinilai terlalu eksklusif. Kesatuan sikap dan tekatpun diperlukan dari para pemuka agama ketika ada persoalan-persoalan global, regional mapun nasional yang dapat mempengaruhi hubungan antar iman di Indonesia. Apabila persoalan-persoalan global dan regional maupun nasional ini diprediksi akan mempengaruhi hubungan antar iman maka para pimpinan-pimpinan majelis diminta untuk bertindak terjun langsung mendampingi dan menjelaskan para warga yang mulai resah dan terpengaruh dengan isu-isu itu. Sikap positif dan tidak reaktif dari para pemuka agama dalam mendampingi warganya bila ada persoalan-persoalan yang genting ini sangat diperlukan dalam menangkal isu-isu itu dan mewujudkan kerukunan umat beriman di Indonesia.
· Menanamkan sikap kritis kepada pengikut merupakan hal yang perlu untuk dilakukan oleh pemuka agama. Sikap yang kritis dari warga dapat membantu perkembangan iman dan agama tumbuh sesuai dengan jaman dan menumbuhkan sikap religiositas warga yang sehat. Sikap religiositas yang sehat dari warga merupakan suatu survival system yang secara alamiah terbentuk dan sikap ini dapat melindungi Republik Indonesia dari tindakan-tindakan provokatif yang dapat menghancurkan Republik Indonesia.
· Pentingnya pemahaman akan kesejajaran dan pengakuan serta penghormatan akan hak-hak umat beragama lainnya tanpa memandang jumlah. Landasan negara dalam memberikan jaminan dan pemenuhan akan hak-hak warga negaranya bukan berdasarkan besaran jumlah dari kelompok warga tersebut tetapi setiap orang berapapun jumlahnya mempunyai jaminan, pengakuan, perlindungan dan pemenuhan yang sama.
· Dalam berdialog baik di FKUB mapun di forum-forum dialog antar agama lainnya perlu dibangun prinsip-prinsip etika bersama atau code of conduct. Dasar dalam membangun prinsip-prinsip etika bersama atau code of conduct itu sudah kita miliki yaitu Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
o Prinsip kesejajaran sebagai subyek hukum; prinsip keadilan, prinsip kemitraan, prinsip kebenaran, prinsip solideritas, prinsip demokrasi, prinsip kesejahteraan, prinsip kemerdekaan individu, prinsip independen, prinsip mandiri, dan prinsip otonom.
“BerkeTuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Negara, setiap warga Negara Indonesia dalam meyakini dan menjalankan keyakinannya dijamin dan dilindungi oleh Negara secara adil dan merata demi terciptanya persatuan dan kesatuan Republik Indonesia dalam kebhinekaannya.

IV. FKUB dan PBM No. 9 & 8 Tahun 2006

Penafsiran PBM No 9 & 8 Tahun 2006 yang berbeda-beda menyebabkan hambatan bagi terciptanya kebersamaan dan kerukunan. PBM No 9 & 8 Tahun 2006 ditafsirkan seperti SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1969. Sedemikian lemahnya pemahaman PBM No 9 & 8 Tahun 2006 sehingga upaya untuk memperoleh IMB rumah ibadat pun mengalami kegagalan. Banyak pejabat perangkat desa (RT/RW) dan camat belum memahami PBM No 9 & 8 Tahun 2006. Karena kurangnya pemahaman maka telah terjadi pencabutan Surat Ijin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadat yang pendiriannya sudah berlangsung sebelum ada peraturan bersama ini.
Pengamatan saya mengenai kelembagaan FKUB;
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 & 8 Tahun 2006 belumlah cukup untuk mengatur internal organisasi FKUB. Permintaan yang disampaikan oleh FKUB dalam Rakornas di Bandung untuk membentuk pedoman kerja dan tata tertib FKUB dirasa perlu untuk dipertimbangkan. Kesulitan teknis ini terkadang sedikit mengganggu optimalisasi tugas dan fungsi FKUB.
Beberapa anggota FKUB perlu dibekali pemahaman HAM, Pancasila, UUD 1945 dan makna Bhineka Tunggal Ika. Maka amatlah penting pelatihan-pelatihan HAM, pemahaman makna sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kecenderungan untuk menguasai kelembagaan FKUB berdasarkan jumlah terbanyak dibeberapa tempat sangat terasa. Penguasaan ini telah mengalihkan fungsi dan peran baik lembaga FKUB maupun anggota FKUB. Bila hal ini tidak dicegah maka dikawatirkan FKUB yang diharapkan menjadi forum komunikasi dan dialog antar iman akan beralih fungsi menjadi forum penghambat kerukunan. Hal lain yang perlu diantisipasi adanya peralihan peran anggota FKUB yang ditokohkan oleh masyarakatnya dan panutan bagi warganya serta diharapkan keterlibatannya di FKUB sebagai bentuk pengabdian bagi kerukunan di wilayahnya dikawatirkan akan terjadi pengalihan bentuk keterlibatan anggota FKUB sebagai ajang mencari karier dan pemenuhan ambisi-ambisi pribadinya.
Peran FKUB terlalu menempel erat pada Pemerintah Daerah sehingga indepedensi, kemandirian dan otonomi anggota FKUB diragukan.
Tawaran solusi kendala kelembagaan FKUB;
· Pedoman kerja dan tata tertib FKUB memang perlu dibentuk. Pembentukan pedoman kerja dan tata tertib diperlukan kontribusi dari para anggota FKUB yang memang berangkat dari kebutuhan di masing-masing wilayah. Pembentukan pedoman kerja dan tata tertib di tingkat nasional ini tentu akan disesuaikan kembali dengan konteks di FKUB masing-masing wilayah. Etika dalam menjalankan fungsi kelembagaan FKUB pun diperlukan agar para anggota FKUB berprilaku, bertindak, dan berinteraksi dalam batas-batas etika yang telah disepakati bersama. Sehingga gangungan fungsi kelembagaan FKUB yang disebabkan karena etikus-etikus (orang-orang yang bertindak tidak sesuai denngan asas prilaku yang disepakati secara umum) dari masing-masing anggota FKUB dapat dihindari.
· Lembaga FKUB dan anggota-anggotanya harus independent, non-partisan, dan otonom. De jure bahwa kegiatan FKUB didanai dari APBD dan APBN, hal ini tidak boleh mempengaruhi sikap dan prinsip lembaga FKUB dan anggota-anggotanya yang independent, non-partisan dan otonom dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Pengamatan saya terhadap kendala keanggotaan FKUB;
Anggota FKUB dikawatirkan menjadi narasumber untuk bagi kelompok-kelompok yang siap mempolitisir dan mengarahkan persoalan-persoalan hubungan antar agama menuju kearah kelanggengan perbedaan dan kurang memprioritaskan kerukunan antar agama.
Penggalangan dan pengerahan warga yang setia dari luar wilayah untuk masuk ke wilayah-wilayah lain dengan tujuan untuk menciptakan suasana kecemasan, kekawatiran, dan ketidakpastian hukum.
Usulan mengatasi kendala keanggotaan FKUB yang saya tawarkan;
· Kemampuan dan keahlian para anggota FKUB perlu dioptimalkan dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan ketrampilan akan pemahaman hak-hak sipil, politik, budaya, ekonomi, dan hak-hak asasi masyarakat agar para anggota FKUB lebih trampil, adil, obyektif dan konsisten dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai fasilitator dan mediator.
Dalam hal pemberian rekomendasi dan ijin mendirikan rumah ibadat ditengarahi memiliki potensi kegagalan;
Setiap permohonan pendirian rumah ibadat yang berdasarkan kebutuhan nyata dan telah memenuhi persyaratan administrasi serta persyaratan teknis yang masuk ke FKUB dan secara prinsip tidak ada kendala, maka FKUB tidak mempunyai hak untuk menunda bahkan menolak permohonan pendirian tersebut. Meskipun permohonan itu datang dari pemohon yang beragama yang bukan dari ke enam agama yang dilayani oleh pemerintah (diluar agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu) maka FKUB pun berkewajiban untuk memberikan rekomendasi pendirian rumah ibadat. Karena secara tegas konstitusi kita menjamin dan melindungi setiap warganya untuk menjalankan ibadahnya meskipun konsekwensi dari pemberlakukan hak ini adalah pemberian rekomendasi pendirian rumah ibadat.
Keraguan pemerintah daerah bahkan kecenderungan untuk menolak dalam menjalankan kewajibannya berdasarkan PBM No 9 & 8 Tahun 2006 untuk memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat bagi pemohon yang sangat memerlukan rumah ibadat karena warga pengguna sudah melebihi 90 orang dan persyaratan teknis lainnya sudah terpenuhi tetapi tidak mendapatkan persetujuan dari warga disekitar atau bahkan dari warga diluar wilayah rumah ibadat.

V. Rekomendasi

1. Pelatihan pemahaman dan pelaksanaan hak-hak sipil, politik, ekonomi, budaya khususnya hak beragama, berkeyakinan, menjalankan ajaran-ajaran agama dan keyakinan bagi para anggota FKUB, pemda dan pemuka agama perlu diadakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia;
2. Mengadakan pilot project kemanusian lintas agama yang merespon pada persoalan-persoalan sosial, politik dan ekonomi warga yang termarginalkan dan ditimpa kesulitan seperti misalnya korban bencana alam, korban bencana buatan manusia dan bencana-bencana struktural lainnya;
3. Konsistensi dalam setiap tindakan dan kebijakan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta setiap komunitas umat beriman akan terwujudnya ideology bangsa yang berupa “BerkeTuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh negara, setiap warga Negara Indonesia dalam meyakini dan menjalankan keyakinannya dijamin dan dilindungi oleh negara secara adil dan merata demi terciptanya persatuan dan kesatuan Republik Indonesia dalam kebhinekaannya”.
4. Saya optimis wajah muram dari kerukunan di Indonesia ini dapat diperbaiki dengan upaya-upaya mengadakan dialog yang otentik antar umat beriman. Pentingnya dialog yang mengakui kesejajaran iman dan hak-hak asasi individu dengan kesadaran total dan sikap terbuka untuk mengakui kebenaran sikap-sikap religiositas yang terlibat dalam dialog, bersikap adil terhadap antar dan inter umat beriman, selalu mengupayakan perdamaian dalam dialog dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dapat menciptakan perdamaian sejati di Indonesia.
5. Pembentukan etika bersama atau code of conduct sebagai pemuka agama dalam berdialog dan berdakwah atau ceramah sangat diperlukan. Etika bersama atau code of conduct itu dibentuk dengan mempertimbangkan ideology bangsa yaitu Pancasila, konstitusi yaitu UUD 1945, dan falsafah bangsa yaitu Bhineka Tunggal Ika. Etika bersama atau code of conduct itu harus mencakup prinsip-prinsip:
Prinsip kesejajaran sebagai subyek hukum; prinsip keadilan, prinsip kemitraan, prinsip kebenaran, prinsip solideritas, prinsip demokrasi, prinsip kesejahteraan, dan prinsip kemerdekaan individu.
6. Ketegasan sikap dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan aparat keamanan terhadap tindakan-tindakan yang meresahkan warga khususnya tindakan yang dapat memicu gesekan-gesekan antar umat beriman. Kepastian hukum dan peraturan perundang-undangan perlu ditegakkan dan dihormati bersama khususnya bagi aparat penegak hukum, aparat keamanan, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

VI. Kesimpulan

Kurang optimalnya pemberlakukan PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 FKUB disamping disebabkan karena hal-hal teknis seperti yang disebut diatas tetapi lebih dipengaruhi oleh kerukunan regional, nasional dan internasional serta kesejahteraan, keadilan, kebenaran, perdamaian dan demokrasi yang ditegakkan. Tentu PBM No 9 & 8 Tahun 2006 mempunyai kekuatan yang mengikat dan ditaati oleh warga karena PBM No 9 & 8 Tahun 2006 dibentuk berdasarkan kebutuhan, secara normatif memberikan kepastian hukum yang jelas dan terukur, serta dalam pembentukannya mengikutsertakan partisipasi warga. Adanya penolakan dalam pemberlakuan PBM secara murni dari sebagian kelompok kecil masyarakat terjadi karena kelompok itu belum memahami hak umat beriman lainnya untuk menjalankan ajaran agamanya yang dilindungi dalam konstitusi kita. Riak-riak kecil yang dialami oleh sebagian kelompok umat beriman dalam mengupayakan perolehan ijin untuk mendirikan rumah ibadat di wilayahnya dapat diatasi dengan dibukanya dialog yang otentik antar umat beriman dengan difasilitasi FKUB diwilayah tersebut.

Pemerintah bersama-sama dengan komunitas umat beriman sangat berperan penting dalam mengupayakan terwujudnya nilai-nilai kebenaran, keadilan, kesejahteraan yang merata, perdamaian dan demokrasi demi terciptanya kerukunan. Dalam mewujudkan kerukunan di Republik Indonesia ini, pemerintah perlu membuat kebijakan-kebijakan, pembentukan peraturan perundang-undangan, pengimplementasian setiap peraturan perundang-undangan, kegiatan kepemerintahan yang mempromosikan dan mendukung kerukunan antar umat beriman, program-program kemanusian lintas agama, penyelesaian persoalan-persoalan pelanggaran HAM warga, membatasi dominasi bisnis ekonomi neo-liberalisme yang berkecenderungan untuk merampas hak-hak ecosoc warga.
Disamping itu komunitas umat beriman pun mempunyai tanggungjawab untuk menciptakan kerukunan dengan penguatan iman para pengikut-pengikutnya (relasi internal diperkuat) dengan memberikan pemahaman sikap-sikap yang inklusif serta dukungan kebijakan-kebijakan pemuka agama yang mempromosikan dan mencerminkan ajaran yang inklusif dan mengedepankan hubungan antar iman yang harmonis.
Perlu disepakati bersama untuk menentukan tujuan agenda jangka panjang bangsa kita dengan mengedepankan moment of justice, truth and reconciliation yang sejati berdasarkan HAM, di mana para pemimpin bangsa, para intelektual, para pemuka agama, para aktifis dan budayawan, menyatakan refleksi bersama yang komprehensif mendalam tentang kerukunan beragama ini, dengan lebih pro aktif mendengarkan aspirasi religiositas komunitas-komunitas lokal, sesuai dengan dasar filosofis dan tujuan bangsa-negara ini didirikan, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, persatuan dan kemerdekaan (Pancasila).

Tidak ada komentar: