Vera Wheni S Soemarwi, S.H., LL.M
Abstrak
Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam yang
terkandung di darat, laut maupun udara. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki
ribuan pulau. Pulau-pulau tersebut belum terdata dan terorganisir dengan rapi
di pemerintahan Republik Indonesia. Fakta ini disimpulkan dari data yang
dilansir oleh sejumlah kementerian yang mencatat jumlah pulau di Indonesia
berkisar antara 13.487 sampai dengan 18.306 pulau. Kesimpangsiuran data ini
telah menimbulkan potensi konflik dengan negara tetangga. Potensi konflik itu
muncul karena para negara tetangga menganggap Indonesia memiliki kelemahan
dalam menjaga keutuhan kedaulatan darat, laut, udara dan kepulauan. Di beberapa
titik perbatasan dengan negara tetangga, Indonesia memiliki potensi sengketa
dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Timor Leste dan Filipina.
Untuk menghindari agar potensi konflik itu tidak menjadi konflik perbatasan
maka penting bagi Indonesia untuk menentukan batas-batas wilayah darat, laut,
udara dan kepulauan. Penentuan batas wilayah merupakan unsur terpenting bagi
suatu negara dalam menentukan teritorinya (a
difined territory)[1].
Memastikan perbatasan darat, laut dan kepulauan-kepulauan terdepan[2]
penting bagi Republik Indonesia untuk menentukan wilayah kedaulatan udara
Indonesia. Ketidakjelasan perbatasan akan berdampak pada hilangnya sebagian
wilayah kedaulatan Indonesia. Tujuan penelitian ini dilakukan agar pemerintah
Indonesia melakukan upaya untuk mempertahankan kedaulatannya dengan cara
mendirikan pos-pos penjagaan dan kantor pemerintahan kepulauan serta pendudukan
nyata terhadap pulau-pulau terdepan yang berjumlah 92 pulau ini. Dengan upaya
ini Indonesia dapat memiliki ruang udara yang sangat luas karena penentuan
wilayah teritorial laut 12 mil dari pulau terdepan. Keuntungan lainnya dalam
penentuan Zona Ekonomi Ekslusif serta Batas Lintas Kontinen yang dihitung 200
mil dari kepulauan terdepan, Indonesia dapat memililki kekayaan alam yang dapat
diekplorasi lebih luas lagi. Indonesia pernah mengalami kehilangan dua Pulau
Sipadan dan Ligitan. Dari pengalaman kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, artikel
ini, akan mengulas pentingnya memelihara wilayah Republik Indonesia melalui
inventarisasi dan kepastian hukum akan wilayah-wilayah perbatasan baik darat,
laut, udara serta kepulauan Indonesia; klaim kedaulatan di kepulauan-kepulauan
terdepan dalam rangka penentuan wilayah kedaulatan udara Negara Republik
Indonesia. Methodologi dalam artikel ini menggunakan metode empiris dengan
menggunakan studi kasus Sipadan dan Ligitan serta menganalisa potensi-potensi
konflik perbatasan dengan negara tetangga yang terjadi di Indonesia setelah
kasus Sipadan dan Ligitan. Artikel ini mengedepankan proses pembelajaran
bersama (leasson learned) dalam kasus
Sipadan dan Ligitan serta mencari cara untuk menjaga keutuhan wilayah darat,
laut, dan udara Republik Indonesia.
I. Pendahuluan
Kedaulatan
suatu negara merupakan suatu hak yang hakiki yang harus dimiliki oleh suatu
negara. Negara yang berdaulat mempunyai hak untuk menentukan segala urusan
dalam negeri dan urusan luar negeri. Salah satu ciri negara yang memiliki
kedaulatan yang utuh adalah memiliki wilayah teritorial yang jelas. Wilayah teritorial
dibagi menjadi wilayah darat, laut dan udara. Untuk negara kepulauan seperti
Indonesia maka wilayah teritorialnya terdiri dari darat, laut, kepulauan dan
udara. Wilayah teritorial ini perlu diperjelas dengan cara menentukan wilayah
perbatasan dengan negara tetangga.
Salah satu
cara dalam menentukan batas-batas wilayah darat, laut, udara dan kepulauan
suatu negara dapat dituangkan melalui treaty[3]
dan bila batas-batas wilayah negara tidak ditentukan dalam treaty sulit bagi negara untuk mengklaim teritorinya[4].
Dalam hukum internasional yang dimaksud dengan treaty adalah perjanjian internasional yang diwujudkan dalam bentuk
tertulis yang diselenggarakan secara khusus oleh dua atau lebih negara untuk
mengatur hal-hal khusus sebagaimana diatur, ditentukan dan tunduk pada hukum
internasional. Untuk itu penting sekali bagi negara untuk
menentukan batas-batas wilayahnya dan mengadakan perundingan dengan negara
tetangga. Penentuan wilayah perbatasan di darat, laut dan kepulauan akan
berdampak pada wilayah kedaulatan udara suatu negara seperti yang tertuang
dalam Pasal 1 dan 2 Konvensi Chicago, 1944[5].
Lepasnya pulau Sipadan dan
Ligitan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia telah berdampak pada: (a)
berkurangnya luas wilayah darat dan laut; (b) berkurangnya kekayaan alam yang
terkandung di darat dan lautan pulau itu; dan (c) berkurangnya potensi ekonomi;
(d) berkurangnya wilayah kedaulatan udara Republik Indonesia. Dampak ini belum
begitu diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia. Kehilangan wilayah udara dapat
diartikan bahwa Indonesia kehilangan potensi ekonomi. Misalnya potensi ekonomi yang
dapat diambil dari kedua pulau tersebut seperti: jalur penerbangan domestik ke
dan dari pulau itu; dan bila maskapai Indonesia akan melintasi wilayah udara diatas
kedua pulau itu Indonesia tidak perlu minta ijin lintas wilayah udara sedangkan
saat ini setelah kedua pulau itu dikuasai oleh Malaysia bila maskapai Indonesia
akan melintas di atas ruang udara kedua pulau tersebut maka Indonesia harus
memperoleh ijin lintas wilayah udara dari Malaysia. Akibat lainnya adalah
Indonesia kehilangan lebar laut teritorial yang seharusnya dapat diukur
maksimal 12 mil laut dari Pulau Sipadan dan Ligitan. Indonesia bukan hanya
kehilangan kedaulatan atas laut tetapi juga kedaulatan atas ruang udara diatas
wilayah teritorial laut 12 mil dari kedua pulau tersebut. Setelah kedua pulau
itu masuk ke wilayah teritorial Malaysia maka penentuan garis pangkal Indonesia
sebagai negara kepulauan ditarik dari Pulau Sebatik ke Pulau Tanjung Arang dan
menuju ke Pulau Maratua merupakan bagian dari kepulauan Derawan, kawasan
segitiga terumbu karang, kaya akan aneka ragam hayati, merupakan kawasan
wisata. Pulau Maratua memiliki luas daratan 384,36 km2 dan wilayah perairan
3.735, 18 km 2 termasuk wilayah Kabupaten Berau, Propinsi Kalimatan Timur
terletak di kepulauan terdepan Indonesia yang berada di Laut Sulawesi[6]
berbatasan dengan Malaysia dan Filipina.
Saat ini Indonesia memiliki
potensi konflik perbatasan dengan negara tetangga mengenai: (a) sengketa garis
batas teritorial; (b) sengketa posisi perbatasan; (c) potensi konflik
perbatasan terkait dengan kekayaan alam[7];
dan (e) potensi konflik kedaulatan atas pulau-pulau.
Artikel ini akan mengulas inventarisasi
potensi konflik; bagaimana menentukan kepastian hukum dan klaim kedaulatan
wilayah RI; dan penentuan wilayah kedaulatan udara RI sesuai dengan hukum
internasional.
II. Inventarisasi Potensi Konflik Perbatasan
antara Republik Indonesia dengan Negara Tetangga
Pentingnya sebuah perjanjian
internasional dalam menentukan batas-batas wilayah antar negara yang dituangkan
secara tertulis sehingga perjanjian ini akan diakui oleh negara-negara lain
sebagai dokumen otentik yang dapat digunakan sebagai bukti klaim kepemilikian
suatu wilayah atau territory. Dalam
hukum international prinsip ini disebut sebagai erga omnes regimes[8].
Yang dimaksud dengan prinsip erga omnes (bahasa
Latin: untuk kepentingan seluruh dunia) adalah kewajiban internasional suatu
negara yang dimiliki oleh seluruh negara-negara di dunia. Sehingga bila suatu
negara melanggar salah satu kewajiban internasional yang termasuk dalam
kategori erga omnes maka seluruh
negara-negara dapat menuntut negara pelanggar kewajiban internasional itu untuk
melaksanakan kewajibannya.
Negara-negara yang ikut
menandatangani perjanjian perbatasan wilayah ini tidak bisa serta merta menarik
diri atau mengadakan perubahan isi perjanjian sebagai dasar untuk mengakhiri
perjanjian ini[9]. Larangan
penarikan diri secara sepihak ini secara jelas diatur dalam Viena Convention the Law of Treaty Pasal 62 (2) huruf (a).
Penentuan wilayah
perbatasan menjadi sangat penting dan merupakan isue yang sangat krusial untuk
dicermati karena berdampak sangat luas. Salah satu dampak yang akan dibahas
dalam artikel ini adalah dampak dari ketidakjelasan penentuan batas wilayah dan
klaim wilayah baik di kepulauan[10],
laut maupun darat akan berdampak pada berkurangnya wilayah kedaulatan udara
suatu negara. Pembahasan ketidakjelasan wilayah perbatasan darat, laut dan
kepulauan ini akan disajikan dalam artikel ini melalui upaya kita dalam
mempertahankan wilayah teritorial yang berbatasan dengan negara tetangga.
Pembahasan akan dimulai dari perbatasan laut RI dan Filipina yang kemudian akan
dilanjutkan dengan perbatasan antara RI dengan Malaysia.
Secara geografis RI dengan
Filipina mempunyai wilayah perbatasan maritim di wilayah laut Sulawesi dan
Samudera Pasifik. Wilayah perbatasan maritim akan menentukan Batas Landas
Kontinen (BLK)[11] dan
batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)[12]
bila mengikuti aturan hukum internasional maka penentuan batas wilayah akan
ditarik antara BLK dan ZEE sama lebar yaitu 200 mil laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah maritim Indonesia[13].
Bila Indonesia dan Filipina konsisten dalam menentukan batas wilayah BLK dan
ZEE-nya dengan menggunakan Pasal 57 UNCLOS maka batas wilayah ZEE antara
Indonesia dan Filipina akan tumpang tindih. Wilayah yang tumpang tindih itu
adalah wilayah bagian selatan Mindanao dan berhimpitan dengan batas wilayah
perairan Sulawesi. Penentuan wilayah yang tumpang tindih ini akan berdampak
pada penentuan batas kedaulatan dan hukum di laut serta udara serta berdampak
pada perikanan, wisatabahari, eksplorasi lepas pantai, transportasi laut dan
udara, serta penentuan kekayaan negara di laut dan udara.
Agar batas wilayah ZEE
antara Indonesia dengan Filipina menjadi jelas maka Pemerintah RI dengan
Filipina mengadakan perjanjian[14].
Beberapa perundingan perbatasan laut RI dan Filipina telah diselenggarakan
dalam forum teknis Joint Permanent
Working Group on Maritime and Ocean Concerns (JPWG-MOC) yang dimulai sejak
tahun 2003[15] dan telah
mencapai kata sepakat pada bulan Mei 2014 dengan penentuan batas wilayah ZEE
Indonesia dan Filipina yang tidak selalu diukur dari 200 mil laut diukur dari
garis pangkal laut. Pada titik-titik tertentu lebih dari 200 mil sedangkan
dititik singgung di daerah lain kurang dari 200 mil. (lihat digambar dibawah
ini yang diakses dari http://setkab.go.id/artikel-12489-perkembangan-perundingan-penetapan-batas-zona-ekonomi-eksklusif-ri-filipina.html).
Pembahasan potensi perselisihan perbatasan lainnya adalah
perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia. Tercatat saat ini Indonesia sedang
dalam proses perundingan perbatasan dengan Malaysia misalnya di wilayah
Kalimantan Barat. Sengketa batas wilayah perairan antara Indonesia dengan
Malaysia yang saat ini sedang meruncing adalah wilayah perairan Tanjung Datu, Kecamatan
Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Dalam sengketa ini, menurut panglima
TNI Jenderal TNI Moeldoko dalam wawancaranya dengan sindonews (28 Mei 2014), “Malaysia
telah melanggar wilayah Indonesia sejauh 143 M2 dan berada di dalam garis
landas kontinen Indonesia berdasarkan perjanjian Indonesia (RI-Malaysia) tahun
1969. Kegiatan Malaysia dalam upaya untuk menguasai Tanjung Datu diduga kuat
dengan mengubah patok perbatasan A/2 dan A/3 yang dibuat pada jaman Pemerintah
Belanda”[16]. Dari
upaya Malaysia untuk berusaha menguasai wilayah Tanjung Datu adalah penguasaan
secara efektif (effective occupation)
berupa pembangunan Taman Negara Tanjung Datu National Park, kontrol pemerintahan secara effectif (effective control) dengan cara
Pemerintah Malaysia sengaja membangun mercusuar tepat di samping mercusuar
buatan pemerintah Belanda. Menurut Purnomo Yusgiantoro, dalam wawancaranya
dengan wordpress pada tanggal 23 Mei 2014 “sengketa ini muncul karena adanya
perbedaan dasar hukum dalam menentukan batas wilayah negara. Indonesia
menggunakan Traktat London sedangkan Malaysia menggunakan batas alur sungai.
Batas-batas yang ditetapkan dalam Traktat London telah diubah oleh Tim Border
Committee Indonesia dengan Pihak Malaysia yang dituangkan dalam MoU”. Akibat
dari perubahan penentuan batas-batas ini maka Indonesia kehilangan 1490 Ha di
wilayah Camar Bulan dan 800 M2 garis pantai di Tanjung Datu sehingga Indonesia
kehilangan wilayah teritorial laut, udara dan darat serta kekayaan alam lainnya
diatas dan dibawah wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datu. Diprediksi bahwa
dilaut Tanjung Datu terdapat kandungan kekayaan alam seperti timah, minyak dan
gas[17].
peta Camar Wulan dan Tanjung Datu.
(foto: equator.com)
Selain sengketa Tanjung Datu ada wilayah lain di Kalimantan
Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia menuai konflik perbatasan
seperti di Dusun Camar Bulan, Desa Temanjuk Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas.
Persoalan utama didaerah ini adalah overlapping
klaim titik perbatasan di kawasan Dusun Camar Bulan yang terletak di ujung
utara Kecamatan Paloh yang berbatasan dengan Sarawak, Malaysia. Menurut
penjelasan Michael Tene, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia
Overlapping itu terletak pada wilayah
1,5 KM 2 dari patok perbatasan Indonesia dan Malaysia mengingat ada patok-patok
perbatasan yang rusak.
Posisi geografis Indonesia di wilayah darat berbatasan
dengan Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste sedangkan di laut Indonesia
berbatasan dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina,
Palau, Papua New Guinea, Australia dan Timor Leste[18].
Di wilayah-wilayah perbatasan dengan negara-negara tersebut Indonesia mempunya
potensi sengketa
perbatasan diantaranya: Indonesia dengan Malaysia tahun 1969 memperebutkan
batas laut di Selat Malaka; Indonesia dengan Malaysia tahun 1980 memperebutkan
Pulau Ambalat; Indonesia dengan Filipina tahun 1989 memperebutkan Pulau Miangas
dan P Manoreh; Indonesia dengan Singapura tahun 2005 reklamasi pantai yang
dilakukan Singapura, menambah perluasan wilayah hingga 199 Km2 hal ini
berdampak pada Selat Singapura semakin sempit; Indonesia dengan Vietnam tahun
1982 Vietnam mengeluarkan “Statement on
the Territorial Base Line” yang mengakibatkan sengketa P. Phu Qoc dan mengklaim
wilayah laut Indonesia; Indonesia dengan Republik Palau tahun 1979 sengketa
Zona Perikanan yang diperluas Palau menyebabkan tumpang tindih dengan ZEE
Indonesia; Indonesia dengan Timor Leste tahun 2002 perbatasan Indonesia dengan
Timor Leste yang masih belum pasti menyebabkan beberapa konflik; Indonesia
dengan Thailand tahun 1981 Royal
Proclamation yang tidak sesuai dengan penetapan batas dasar laut di Laut
Andaman yang telah disepakati pada tahun 1973[19].
III. Klaim
Kedaulatan Republik Indonesia atas Kepulauan
Rezim hukum laut[20]
menentukan bahwa negara kepulauan terdiri atas satu atau lebih gugusan pulau
dimana diantaranya terdapat pulau-pulau lain yang merupakan satu kesatuan
politik atau secara historis merupakan satu ikatan[21].
Untuk mengatur laut di negara kepulauan seperti Indonesia
tunduk pada garis pangkal yang dapat ditentukan berdasarkan pada pengaturan
garis pangkal kepulauan[22]
yang merupakan wujud alamiah. Maka penetapan laut teritorial Indonesia selebar
12 mil diukur dari garis pangkal lurus (straight
base lines) yang ditarik dari ujung ke ujung pulau terdepan Indonesia.
Sebelum menentukan wilayah laut territorial Indonesia selebar 12 mil maka kita
perlu menentukan terlebih dahulu pulau-pulau mana saja yang terletak di gugus
kepulauan terdepan yang masuk ke wilayah Indonesia. Keuntungan dari negara
kepulauan seperti Indonesia adalah negara dapat menentukan alur laut kepulauan.
Alur laut kepulauan itu dapat digunakan sebagai rute penerbangan di atasnya.
Artinya adalah Indonesia mempunyai hak untuk mengatur penerbangan pesawat berbendera
negara lain yang akan melintasi diatas wilayahnya itu. Untuk menentukan itu
maka perlu ada kajian secara mendalam dan mendata kepulauan Indonesia. Penentuan
12 mil dari gugus kepulauan terdepan akan berdampak pada batas-batas wilayah
ruang udara yang dimiliki oleh Indonesia.
Ironisnya antar kementerian terkait belum
ada kesamaan data mengenai jumlah pulau yang dimiliki oleh RI. Catatan dari
beberapa lembaga seperti LIPI di tahun 1972 mempublikasikan jumlah pulau 6.127
pulau yang telah memiliki nama; Pusat Survei dan Pemetaan ABRI (Pussurta) tahun
1987 mencatat jumlah pulau yang dimiliki oleh RI adalah 17.504 pulau dan dari
jumlah itu 5.707 pulau yang memiliki nama; Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional (Bakosurtanal) tahun 1992 mempublikasikan 6.489 pulau yang telah
memiliki nama; Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) tahun 2002
berdasarkan citra satelit mencatat jumlah pulau di Indonesia adalah 18.306
pulau; Kementrian Riset dan Teknologi, tahun 2003, berdasarkan teknologi citra
satelit merekam jumlah pulau di Indonesia adalah 18.110 pulau; Kementrian Dalam
Negeri tahun 2004, mempublikasikan jumlah pulau di Indonesia adalah 17.504
pulau dan dari jumlah itu ada 7.870 pulau sudah memiliki nama sedangkan sisanya
9.634 pulau belum diberi nama; Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun
2009 mencatat jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.480 pulau dan hanya 4.891
pulau yang telah diberi nama dan telah didaftarkan ke PBB[23]. Data
terakhir yang dapat kami himpun dari Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi
jumlah pulau yang dapat dibakukan sejumlah 13.466 pulau dan pulau-pulau
tersebut telah dilaporkan ke PBB[24].
Kita telah mulai membakukan pulau-pulau namun proses pembakuan pulau belum
selesai. Kami berharap dari proses pembakuan ini ada kejelasan mengenai
pulau-pulau yang dimiliki oleh Indonesia sehingga klaim yang tumpang tindih
terhadap pulau-pulau yang sesungguhnya dimiliki oleh Indonesia tidak terjadi
kembali.
Disamping kesimpangsiuran akan data
tersebut, terdapat 92 pulau terdepan dengan luas masing-masing pulau rata-rata
0,02 hingga 200 kilometer persegi. Dari 92 pulau[25] hanya 50%-nya berpenghuni sedangkan
sisanya tanpa penghuni. 67 pulau dari 92 pulau terdepan berbatasan langsung
dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, Papua
New Guinea, Australia dan Timor Leste[26].
Wilayah lainnya yang perlu mendapatkan perhatian khusus berdasarkan inventarisasi yang telah
dilakukan oleh Dinas Hidro Oseanografi (Dishidros) TNI AL, terdapat 92 pulau
yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, diantaranya[27]:
- Pulau Simeulucut, Salaut Besar, Rawa, Rusa, Benggala dan Rondo berbatasan dengan India.
- Pulau Sentut, Tokong Malang Baru, Damar, Mangkai, Tokong Nanas, Tokong Belayar, Tokong Boro, Semiun, Subi Kecil, Kepala, Sebatik, Gosong Makasar, Maratua, Sambit, Berhala, Batu Mandi, Iyu Kecil, dan Karimun Kecil berbatasan dengan Malaysia.
- Pulau Nipa, Pelampong, Batu berhenti, dan Pulau Putri Nongsa berbatasan dengan Singapura.
- Pulau Sebetul, Sekatung, dan Senua berbatasan dengan Vietnam.
- Pulau Lingian, Salando, Dolangan, Bangkit, Manterawu, Makalehi, Kawalusu, Kawio, Marore, Batu Bawa Ikang, Miangas, Marampit, Intata, kakarutan dan Jiew berbatasan dengan Filipina.
- Pulau Dana, Dana (pulau ini tidak sama dengan Pulau Dana yang disebut pertama kali, terdapat kesamaan nama), Mangudu, Shopialoisa, Barung, Sekel, Panehen, Nusa Kambangan, Kolepon, Ararkula, Karaweira, Penambulai, Kultubai Utara, Kultubai Selatan, Karang, Enu, Batugoyan, Larat, Asutubun, Selaru, Batarkusu, Masela dan Meatimiarang berbatasan dengan Australia.
- Pulau Leti, Kisar, Wetar, Liran, Alor, dan Batek berbatasan dengan Timor Leste.
- Pulau Budd, Fani, Miossu, Fanildo, Bras, Bepondo dan Liki berbatasan dengan Palau.
- Pulau Laag berbatasan dengan Papua Nugini.
- Pulau Manuk, Deli, Batukecil, Enggano, Mega, Sibarubaru, Sinyaunau, Simuk dan wunga berbatasan dengan samudra Hindia.
Beberapa wilayah perbatasan yang disebutkan diatas perlu
mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah agar wilayah-wilayah itu dilakukan
penempatan pos-pos penjagaan TNI, pengembangan potensi kepulauan seperti:
tempat wisata, konservasi tumbuh-tumbuhan maupun binatang langka, membuka
wilayah pertanian dan perikanan. Disamping itu perlu dilakukan agar
wilayah-wilayah 92 pulau itu dilakukan effective
occupation berupa membuka program seperti transmigrasi dengan dibarengi
oleh pembanguan sektor ekonomi lainnya. Penghunian ke 92 pulau itu merupakan
langkah untuk mempertahankan wilayah kedaulatan RI termasuk pertahanan wilayah
ruang udara Indonesia.
Keprihatinan yang kedua adalah bagaimana
upaya kita untuk menentukan kedaulatan RI atas pulau-pulau tersebut? Penting
bagi kita untuk mendata dan mengklaim berapa pulau yang kita miliki dalam
rangka menentukan kedaulatan negara atas wilayah udara, laut, darat dan
kepulauan.
IV. Kepastian
Hukum dan Klaim Kedaulatan Wilayah Republik Indonesia
Indonesia punya pengalaman kurang baik
dengan Malaysia dalam perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan yang dimulai sejak
tahun 1969 dan berakhir di Pengadilan Internasional (I.C.J.) di tahun 2002[28].
Kekalahan Indonesia dalam perebutan ke dua pulau itu hendaknya dijadikan materi
yang perlu diantisipasi (lesson-learn).
Setelah Malaysia menguasai baik secara de
jure maupun de facto atas
kepulauan tersebut, Malaysia berupaya mengklaim blok Ambalat di wilayah laut
Sulawesi (perairan sebelah timur Kalimantan). Sengketa Ambalat dengan luas wilayah15.235 KM2 dan kaya
akan hasil tambang, gugus pulau gosong terletak di laut Sulawesi berbatasan
antara Sabah, Malaysia dengan Kalimantan Timur, Indonesia. Dalam sengketa ini Malaysia berpendapat bahwa ia dapat memiliki blok Ambalat
karena menurut perhitungan 200 mil dari Pulau Sipadan dan Ligitan maka blok
Ambalat masuk ke wilayah teritorial Malaysia.
Agar pengalaman ini tidak terulang kembali, penulis mengulas tentang
pentingnya pertahanan kedaulatan wilayah Republik Indonesia (NKRI) dalam
menentukan kedaulatan wilayah udara RI.
Sebagai negara berdaulat, NKRI mempunyai
hak untuk mengatur segala urusan dalam negeri dan luar negeri. Hak untuk
berelasi dengan negara-negara lain sebagai konsekuensi negara sebagai anggota
komunitas internasional. Indonesia yang berdaulat penuh atas wilayahnya
mempunyai kewajiban untuk menjaga integritas teritorial[29].
Kedaulatan teritorial yang dimiliki oleh Indonesia mencakup wilayah darat, laut, kepulauan dan udara diatas wilayah Indonesia[30].
Penentuan kedaulatan teritorial Indonesia merupakan salah satu kualifikasi negara
sebagai subyek hukum dalam hukum internasional sebagaimana ditentukan oleh
Konvensi Montevideo, 1933, Pasal 1. Menurut konvensi Montevideo, negara harus
memiliki teritorial. Konsep kesatuan teritorial sebagai dasar untuk menentukan
garis batas yang pasti. Dengan demikian penting bagi Indonesia untuk menentukan
batas-batas wilayah daratan dan lautan termasuk menentukan landas kontinen dan
zona ekonomi eksklusif. Menentukan garis batas wilayah suatu negara dapat
dituangkan dalam perjanjian international (treaty)
atau melalui putusan pengadilan internasional.[31]
Proses suatu negara dalam menentukan batas-batas
wilayah darat dan laut dimulai dengan kegiatan delimitasi. Kegiatan delimitasi
adalah menentukan perbatasan wilayah masing-masing negara. Setelah delimitasi
selesai proses selanjutnya adalah kegiatan demarkasi. Kegiatan demarkasi adalah
kegiatan pemberian tanda-tanda batas wilayah negara. Tanda-tanda batas wilayah
negara dapat berupa pemasangan patok, batu besar, pos penjagaan, atau dapat
pula tanda yang bersifat alami seperti sungai, danau, atau gunung. Sedangkan
untuk wilayah kepulauan seperti Indonesia garis-garis batas dan penentuan
pulau-pulau kecil masuk ke wilayah Indonesia atau masuk ke wilayah negara
tetangga perlu ditentukan bersama atau sering disebut dengan negosiasi
delimitasi. Proses penentuan delimitasi kemudian dilanjutkan dengan demarkasi.
Delimitasi dan demarkasi dituangkan dalam peta dengan garis koordinat yang
tepat. Peta perbatasan pulau dicantumkan secara rinci dan dijelaskan bahwa peta
perbatasan pulau ini merupakan lampiran dalam treaty. Peta ini digunakan sebagai bukti wilayah perbatasan antar
negara terkait serta merupakan bagian yang tidak terpisah dalam perjanjian
internasional yang dibuat untuk maksud penentuan batas-batas wilayah antar negara
terkait[32].
Untuk menentukan kedaulatan teritorial di
seluruh wilayah, termasuk pulau-pulau yang kecil, di Indonesia tidak cukup
dengan tindakan delimitasi dan demarkasi saja tetapi harus diikuti dengan effective occupation[33],
legislative, administrative, and
quasi-judicial acts[34].
Yang dimaksud dengan effective occupation
adalah hak eksklusif suatu negara untuk melaksanakan aktifitas kenegaraan[35]
seperti membentuk wilayah administrasi pemerintahan RI. Dalam hukum
internasional, tindakan nyata dari kepemilikan terhadap ribuan kepulauan adalah
effective occupation atau pendudukan wilayah
secara nyata. Dalam hal kekosongan
atau tidak dimilikinya perjanjian perbatasan dengan negara tetangga maka
tindakan yang dapat dilakukan adalah melakukan effective occupation. Tujuannya adalah negara tetangga tidak dapat
mengklaim terhadap kepulauan di Indonesia yang belum dikuasai secara de facto dan de jure agar kita tidak kehilangan kepulauan lagi. Hal ini sejalan
dengan putusan pengadilan internasional dalam kasus sengketa wilayah antara
Nicaragua dan Honduras di laut Caribean[36].
Sedangkan yang dimaksud dengan legislative adalah menentukan atau
membuat peraturan perundang-undangan yang berlaku di wilayah kepulauan itu. Yang dimaksud dengan Administrative adalah penempatan perwakilan
kantor pemerintahan dan pegawai pemerintahan yang akan melakukan fungsi
pelayanan publik kepada masyarakat di wilayah itu. Arti dari Quasi-judicial
acts adalah suatu rangkaian kegiatan dan tindakan administrasi pemerintahan
yang memiliki otoritas untuk menentukan hukum yang berlaku di wilayah itu.
Secara sederhana dapat dirumuskan bahwa
cara yang efektif untuk memastikan kepemilikian 18.306 (menurut Lapan
berdasarkan citra satelit di tahun 2002) meskipun seluruhnya belum ada
perjanjian internasional, belum diberi nama, dan belum didaftarkan di PBB maka
tindakan awal adalah menduduki seluruh kepulauan itu, melakukan aktifitas
pariwisata dan membangun kegiatan perekonomian sederhana di wilayah kepulauan
serta membangun kantor-kantor pemerintahan. Bersamaan dengan tindakan
pendudukan secara efektif, pemerintah dapat melakukan perundingan perbatasan
wilayah.
Dengan menguasai seluruh kepulauan maka
luas ruang udara Indonesia akan semakin luas. Dengan demikian Indonesia dapat
menikmati keuntungan dari lalu lintas di atas wilayah udara yang luas.
IV. Menjaga
Wilayah Kedaulatan Udara Republik Indonesia
Keberadaan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan
negara itu untuk mempertahankan kedaulatannya. Ancaman yang perlu diperhatikan
oleh suatu negara terhadap keutuhan wilayahnya bisa dari luar mapun dari dalam
negeri negara tersebut. Ancaman dari luar yang perlu diperhatikan oleh suatu
negara adalah ancaman ekspansi negara lain terhadap sebagian maupun seluruh
wilayah negara itu. Martabat bangsa akan tercoreng bila bangsa itu tidak dapat
mempertahankan wilayah teritorialnya.
Wilayah kedaulatan RI perlu mendapat perhatian khusus
dengan cara menjaga wilayah-wilayah perbatasan dengan negara tetangga khususnya
di wilayah darat di 5 kabupaten Propinsi Kalimantan Barat, 3 kabupaten di
Propinsi Kalimantan Timur berbatasan dengan Malaysia; 3 kabupaten di Propinsi
Nusa Tenggara Timur berbatasan dengan Timor Leste; dan 5 kabupaten/kota di
Propinsi Papua berbatasan dengan Papua Nugini. Disamping wilayah-wilayah tersebut,
Indonesia masih mempunyai masalah
penetapan batas wilayah yang perlu dipertegas kembali dengan negara tetangga
yakni[37];
Masalah
Batas RI - Malaysia, meliputi; Masalah batas laut di Selat Malaka. Kedua belah
pihak belum sepakat, pihak Malaysia menghendaki adanya satu garis batas yakni
menyatukan Garis Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan Landas Kontinen (LK);
sementara Indonesia menghendaki kedua batas tersebut tidak segaris/tidak sama
karena rejim hukumnya berbeda. Kemudian masalah batas laut teritorial, LK dan
ZEE di perairan P. Sebatik dan Laut Sulawesi (blok Ambalat), belum selesai
dirundingkan masih dalam penyelesaian, demikian juga batas ZEE di Laut China
Selatan.
Masalah
Batas Darat di Pulau Kalimantan, dari sepanjang perbatasan ± 2004 km, masih terdapat
10 (sepuluh) lokasi yang kedua negara belum sepaham, kesepuluh segmen tersebut
disebut juga sebagai Outstanding Boundary
Problems, yaitu: di Tanjung Datu, titik D 400, Gunung Raya, Sungai Buan,
Batu Aum, titik C 500 – 600, titik B 2700 – 3100, Sungai Simantipal, Sungai
Sinapad dan Pulau Sebatik.
Bila perbatasan ini tidak diperjelas maka batas wilayah
ruang udara Indonesia berdasarkan pasal 1 dan 2 Konvensi Chicago 1944 dan Pasal
5 UU No. 1 Tahun 2009 menjadi tidak jelas. Data saat ini tercatat luas wilayah
udara Indonesia dengan berdasarkan pada kurang lebih 17.499 pulau dan luas
perairan lautnya mencapai kurang lebih 5.900.000 km2 dan garis pantai sepanjang
kurang lebih 81.000 km sedangkan luas ZEE Indonesia kurang lebih 7,7 juta Km2,
wilayah daratan 1,9 juta Km2[38].
Dengan jumlah pulau, luas perairan lautan, dan daratan tersebut maka Indonesia
mempunyai wilayah ruang udara yang luas dan mempunyai hak ekslusif serta
kedaulatan yang penuh atas ruang udaranya. Dengan luas ruang udara tersebut,
Indonesia dapat menggunakannya untuk lintas penerbangan nasional maupun
internasional. Bila dilihat dari posisi negara Indonesia yang berada pada
posisi silang yaitu antara dua benua dan samudera maka Indonesia memiliki jalur
lalu lintas udara yang sangat padat karena posisi Indonesia ini yang dapat
menghubungkan kedua kawasan besar itu. Luas wilayah ruang udara ini
sesungguhnya dapat digunakan oleh Indonesia untuk memperoleh keuntungan
dibidang ekonomi nasional dengan cara mengoptimalkan dan mengelola dengan baik
jalur transportasi udara dari dan ke Indonesia, transportasi dalam negeri
Indonesia, maupun sebagai negara perlintasan bagi negara-negara lain yang akan
menggunakan wilayah udara Indonesia[39].
Posisi Indonesia yang berada di persilangan antara dua benua dan samudera
menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah ruang udara yang
strategis bagi jalur penerbangan udara yang dapat dilintasi oleh berbagai
negara di dunia untuk berbagai kepentingan. Dampak dari posisi Indonesia yang
strategis ini bila tidak didukung oleh sarana teknologi yang mutakhir, ilmu
pengetahuan serta sumber daya manusia yang mampu mengoperasikan teknologi untuk
menangkal ancaman yang mungkin timbul demi pertahanan negara yang akan
mengganggu keutuhan wilayah kedaulatan negara.
http://www.kawasanperbatasan.com/wp-content/uploads/2012/01/Indon-4.jpg
Salah satu cara untuk mempertahankan kedaulatan udara
Indonesia dapat menetapkan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defence Identification Xone/ADIZ).
ADIZ digunakan untuk menangkal ancaman dari luar dengan cara mengidentifikasi
setiap pesawat baik pesawat sipil maupun militer yang akan masuk ke wilayah
udara suatu negara. ADIZ sudah digunakan oleh Amerika dan Canada. ADIZ
digunakan untuk menunjang dan memperkuat sistem pertahanan udara suatu negara
atau sering disebut dengan asas bela diri (self
defence[40]).
Asas bela diri dengan menggunakan ADIZ merupakan cara yang tepat dan proporsinal.
Penetapan wilayah ADIZ dapat dimulai dari wilayah teritorial suatu negara
hingga mencapai ruang udara diatas laut bebas yang berbatasan dengan negara
itu. Penetapan ADIZ tidak berdampak pada perluasan wilayah territorial suatu negara
atas laut lepas. Penetapan ADIZ ini digunakan semata-mata untuk keamanan dan
pertahanan negara dari ancaman yang masuk ke wilayah udara negara itu. Dampak
dari penetapan ADIZ adalah setiap pesawat baik sipil maupun militer yang akan
masuk ke wilayah negara itu akan melaporkan diri kepada pengawas penerbangan.
Biasanya ADIZ dikelola oleh militer negara itu (Angkatan Udara negara itu).
Meskipun sistem pelaporan ADIZ berbeda dengan pengaturan lalu lintas udara
sipil. ADIZ akan lebih optimal dalam menangkal bahaya yang masuk dari wilayah
udara bila sistem ADIZ ini diintegrasikan dengan sistem radar yang terhubung
dengan sistem persenjataan pertahanan udara[41].
Pemberlakuan ADIZ ini sejalan dengan teori penguasaan Cooper (Cooper’s Control Theory[42])
yaitu kedaulatan suatu negara ditentukan oleh kemampuan negara itu untuk
mempertahankan dan menguasai ruang yang ada diatas wilayahnya atau disebut juga
dengan ruang udaranya.
Dalam konteks Indonesia penggunaan ADIZ ini sangat tepat
mengingat: luas wilayah Indonesia; penetapan jumlah kepulauan yang masuk ke
wilayah kedaulatan NKRI belum dapat dipastikan; sengketa perbatasan dengan
negara tetangga belum dapat sepenuhnya diselesaikan. Penggunaan ADIZ ini
seiring dengan pertahanan kedaulatan NKRI mengingat beberapa kali dari tahun
2009 sampai awal tahun 2011 tercatat 14 pelanggaran wilayah udara RI, wilayah udara Indonesia yang dilintasi oleh
pesawat dari negara lain tanpa ijin dari Indonesia. Potensi ancaman bagi
Indonesia yang wilayah udaranya sudah beberapa kali dilanggar oleh pesawat
berbendera negara lain sangat tinggi.
Penggunaan ADIZ di Indonesia didukung oleh radar militer
(TNI AU) yang berada di Tanjung Kait, Ranai, Tanjung Pinang, Pemalang, Congot,
Cibalimbing, Ngeliyep, Ploso, Balikpapan, Kwandang, Tarakan, Lhokseumawe,
Dumai, Sabang, Sibolga, Buraen, Tanjung Warari, Timika, Merauke, dan Saumlaki. Wilayah
kedaulatan RI yang terdeteksi oleh radar militer belum seluruhnya. Sedangkan
dukungan dari radar sipil berada di Soeta, Juanda, dan Ngurah Rai. Penggunaan ADIZ
di Indonesia baru meliputi wilayah Jawa, Pulau Madura, sebagian kecil Sumatera
Selatan, Lombok, Bali dan sebagian kecil Pulau Sumbawa bagian barat. ADIZ tidak
berada di luar wilayah laut teritorial Indonesia. Ruang udara yang dapat
terdeteksi baru sekitar 5.193.252 Km2 sehingga
proteksi ADIZ di Indonesia belum optimal karena proteksi belum mencakup
seluruh wilayah kedaulatan Indonesia. Proteksi ADIZ di Indonesia hanya digunakan untuk melindungi
ibukota negara yaitu Jakarta dan obyek vital di Jawa dan sekitarnya. Sedangkan
obyek vital negara lainnya seperti di Papua, Kalimantan dan Sulawesi belum
dapat diproteksi.
Eksistensi Indonesia sebagai negara berdaulat yang
mempunyai hak penuh untuk mengatur segala urusan dalam negeri sedang
dipertanyakan oleh sebagian pihak dengan memberikan hak pengaturan lalu lintas ruang
udaranya[43] kepada
Singapura. Meskipun kedaulatan udara Indonesia tidak serta merta diambil oleh
Singapura. Namun dengan memberikan hak pengaturan lalu lintas udara yang
merupakan salah satu penjabaran dari hak Indonesia untuk mengatur urusan dalam
negeri secara tidak langsung, Indonesia sudah mendelegasikan sebagian haknya
untuk mengatur lalu lintas ruang udaranya kepada Singapura. Hal ini dapat
dibaca sebagai pelemahan Indonesia di bidang pertahanan yang akan mengancam
keamanan dan kedaulatan negara RI. Disisi yang lain Indonesia akan kehilangan
pendapatan dari fee penerbangan yang
melintas di wilayah udara Indonesia karena fee
ini akan masuk ke negara lain (Singapure) meskipun pesawat suatu negara
melewati ruang udara Indonesia.
IV. Kesimpulan
Batas-batas wilayah darat, laut dan kepulauan perlu
segera dipertegas dengan negara tetangga karena penentuan batas wilayah
Indonesia akan menentukan luas wilayah Indonesia secara menyeluruh. Total luas
wilayah teritorial darat, laut dan kepulauan, ZEE, dan BLK penting ditentukan
karena berdampak pada luas wilayah ruang udara Indonesia. Semakin luas wilayah
Indonesia maka semakin banyak keuntungan yang diperoleh oleh Indonesia.
Keuntungan yang dapat diperoleh adalah kekayaan laut, bumi, dan udara dapat
dioptimalkan penggunaannya untuk membiayai pembangunan Indonesia.
Berhubung belum ada ketegasan dan kejelasan akan
wilayah-wilayah perbatasan, cakupan luas dan banyaknya pulau-pulau yang
tersebar di wilayah perairan Indonesia, luas wilayah territorial laut, lintas
kontinen, dan zone ekonomi ekslusif maka penerapan cakupan wilayah ADIZ
diperluas sampai ke perbatasan laut lepas diseluruh wilayah perairan Indonesia.
Perluasan ADIZ Untuk kepentingan pertahanan dan keamanan Indonesia yang
mencakup keamanan di wilayah darat, laut dan udara. Wilayah perluasan ADIZ
sebaiknya mencakup wilayah teritori Indonesia sampai ke laut bebas yang
berbatasan dengan wilayah Papua Barat, Papua Timur, Nusa Tenggara Barat dan
Timur, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera. Sehingga Indonesia dapat mendeteksi
seluruh pesawat sipil maupun militer yang akan melintasi wilayah udara
Indonesia. Perluasan wilayah ADIZ ini sangat diperlukan dalam upaya Indonesia
untuk mempertahankan dan menjaga seluruh wilayah kedaulatannya.
Menurut Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil,
Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan
Perikanan dari 92 pulau terdepan Indonesia ada 61 pulau yang belum berpenduduk[44].
Untuk wilayah-wilayah kepulauan yang belum berpenduduk perlu dilakukan effective occupation.
Penting bagi kita untuk mengklarifikasi berapa pulau yang
kita miliki? Klarifikasi ini diperlukan karena terkait langsung dengan luas dan
batas-batas wilayah Indonesia khususnya batas wilayah udara Indonesia. Bila
batas-batas ini tidak jelas maka sulit bagi Indonesia untuk mengatur dan
mendayagunakan wilayah udaranya secara optimal. Klarifikasi ini juga diperlukan
dalam hal penentuan Hak Lintas di wilayah udara di atas kepulauan Indonesia
sebagaimana diatur dalam Konvensi Chicago dan hukum internasional lainnya. Ketidakjelasan
batas wilayah serta belum dilengkapinya sarana pertahanan dan keamanan udara
telah berdampak pada tidak dipatuhinya aturan hukum udara oleh negara-negara
lain yang hendak melintas diatas wilayah udara Indonesia.
V. Daftar
Pustaka
Peraturan:
1.
Convention on the Rights and Duties of States
(Konvensi Montevideo). 165 LNTS 19. signed
at Montevideo on 26 Desember 1933. entered
into force on 26 Desember 1934.
2.
The Vienna Convention on
the Law of Treaties 1969. 23 May 1969. came into forced on 27 January 1980.
3.
Convention on
International Civil Aviation. ICAO Doc. 7300/6 (1980). signed on 7 December
1944.
4.
United Nations
Convention on the Law of the Sea (1982). 1833 UNTS 3. 10 Desember 1982. came in to force on 16 November 1994.
5.
Charter of the United Nations (1945). 892 UNTS 119. 26 Juni 1945. Pasal 2 (4).
6.
Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia. 1945. Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. 15 Februari
1946. Pasal 33 (3).
7.
Undang-Undang Republik
Indonesia No. 17 Tahun 1985. tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea. (Konvensi Perserikataan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).
Lembar Negara No. 76/1985. Tambahan Lembar Negara No. 3319.
Kasus Internasional:
1.
ICJ
Report of Judgments. Advisory Opinions
and Orders. Case Concerning Sovereignty Over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan
(Indonesia/Malaysia). Judgment of 17 December 2002.
2.
North Sea Continental Shelf. Judgment, ICJ Reports 1969.
3.
Kasikilil/Sedudu Island (Botswana/Namibia). Judgement, ICJ Reports 1999
(II).
4.
Frontier Dispute (Burkina Faso/Republic of Mali).
I.C.J. Reports 1986.
5.
Territorial Dipute (Libyan Arab Jamahiriya/Chad). I.C.J. Reports 1994.
6.
Land and Maritime Boundary between Cameroon and Nigeria (Camerron v.
Nigeria: Equatorial Guinea intervening). Judgment. Merits. I.C.J. Reports 2002.
Artikel:
1.
Direktori
Pulau-Pulau Kecil Indonesia. diakses dari http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/298.
tanggal 30 Juni 2014.
2.
Tuhulele
Popi. “Pengaruh Keputusan Mahkamah Internasional Dalam Sengketa Pulau Sipadan
dan Ligitian Terhadap Penetapan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia”. Jurnal Sasi
Vol. 17 No. 2, April – Juni 2011.
3.
Dewi
Tania Chaya Utami. “Perkembangan Perundingan Penetapan Batas Zona Ekonomi
Ekslusif RI-Filipina”. tersedia di http://www. setkab.go.id, 20 Maret 2014
(diakses tanggal 24 Juni 2014).
4.
Datinlitbang.
“Implementasi Strategi Pertahanan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia Di Propinsi
Kalimantan Timur. Tersedia di http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/implementasi-strategi-pertahanan-wilayah-perbatasan-ri-malaysia-di-propinsi-kalimantan-timur
tanggal 27 Juni 2014.
5.
Anonim.
“Permasalahan Kelautan Yang Muncul Dalam Negara Kepulauan Indonesia”. Tersedia di
http://www.sumbawanews.com/berita/opini/permasalahan-kelautan-yang-muncul-dalam
-negara-kepulauan-indonesia/pdf.html.
6.
Brigjen TNI Dody Usodo
Hargo. “Jumlah Pulau di Indonesia”. Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan
Nasional. tersedia di http://www.dkn.go.id., lihat juga Dr. U. Paonganan, R.M.
Zulkipli, K. Agustina. Buku 9 Perspektif
Menuju Masa Depan Maritim Inodnesia.
7.
Susanto Bambang. “Kajian
Yuridis Permasalahan Batas Maritim Wilayah Laut Republik Indonesia” (Suatu
pandangan
TNI AL Bagi Pengamanan Batas Wilayah Laut RI). Indonesia Journal of
International Law.
8.
Ahmad.
“Awal Menengok Jumlah Pulau di Kota Batam”. tersedia di http://sekilaspengalamanku.blogspot.com/2014/05/menengok-jumlah-pulau-di-pemerintah.html
tanggal 28 Juni 2014.
9.
Batubara
Harmen. “Pertahanan dan Pengamanan di Wilayah Perbatasan”. Opini Kompas. 23
July 2010.
10. Anonym. “Urgensi
Pengaturan Lalu Lintas Ruang Udara Indonesia guna Memantapkan Stabilitas
Keamanan Wilayah Udara Nasional Dalam Rangka Memperkokoh Kedaulatan NKRI”.
Jurnal Kajian Lemhannas RI. edisi 16. November 2013.
11. Ahmad. “Ketentuan dan
Penetapan Air Defence Identification Zone
(ADIZ)”.
12. Suradnata Emaya. Hukum
Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan NKRI. Suara Bebas.
Jakarta. 2005.
13. Munir
Saiful, “Kesepakatan Indonesia-Malaysia Soal Sengekta Tanjung Datu”,
SindoNews.com, 28 Mei 2014, tersedia di http://nasional.sindonews.com/read/867895/14/kesepakatan-indonesia-malaysia-soal-sengketa-tanjung-datu
diakses tanggal 27 Juni 2014.
Buku:
1.
Aust
Anthony. Handbook of International Law.
Second Edition. Cambridge University Press.
2.
Damrosch L.F., Henkin L.,
Pugh R.C., Schachter O., Smit. H. International
Law – Cases and Materials. ed. 4. 2001. West
Group.
3.
Abdurrasyid
Priyatna. Pengantar Hukum Ruang Angkasa
dan Space Treaty 1967. Binacipta. Bandung. 1977. hlm. 103.
Situs
internet:
1.
http://indocropcircles.wordpress.com/2014/05/23/gawat-dua-wilayah-indonesia-dijual-oknum-tni-ke-malaysia/
diakses tanggal 24 Juni 2014.
2.
website:
http://www.indomaritimeinstitute.org/?p=1341.
3.
http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/home_page
tanggal 30 Juni 2014.
[1] Convention on the Rights and Duties of States (Konvensi
Montevideo), 165 LNTS 19, signed at
Montevideo on 26 Desember 1933, entered
into force on 26 Desember 1936,
Pasal 1
[2] Yang dimaksud dengan kepulauan terdepan
adalah pulau-pulau yang terletak di paling ujung wilayah perairan Republik
Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas.
[3] Vienna
Convention on the Law of Treaties 1969, 1155 UNTS 331, 22 May 1969, came into forced on 27 January 1980, Article 2
(1) (a) “Treaty means an international agreement concluded between States in
written form and governed by international law, whether embodied in a single
instrument or in two or more related instruments and whatever its particular
designation.”
[4] ICJ Report
of Judgments, Advisory Opinions and Orders, Case Concerning Sovereignty Over
Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia), Judgment of 17 December
2002, paragraph 43, “The court considers that, in the absence of an express
provision on this effect in the text of a treaty, it is difficult to envisage
that the States parties could seek to attribute an additional function to a
boundary line”.
[5] Convention
on International Civil Aviation, ICAO Doc. 7300/6 (1980), signed on 7 December 1944, Pasal 1
“The Contracting States recognize that every State has complete and exclusive
sovereignty over the airspace above its territory”, Pasal 2
“For the purposes of this Convention the territory of a State shall be deemed
to be the land areas and territorial waters adjacent thereto under the
sovereignty, suzerainty, protection of mandate of such State”.
[6] Direktori Pulau-Pulau Kecil Indonesia,
diakses dari http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/298
tanggal 30 Juni 2014.
[7] Tuhulele Popi, “Pengaruh Keputusan
Mahkamah Internasional Dalam Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitian Terhadap
Penetapan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia”, Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2, April
– Juni 2011.
[8] Aust Anthony, Handbook of International Law, Second Edition, Cambridge University
Press, hlm. 10, “…the ICJ at Barcelona
Traction case “pointed out that certain obligations of a State are owed to all
States or erga omnes (to all the world).”
[9] Ibid. hlm. 38, “…A party to the treaty cannot invoke a fundamental change of circumstances
as a ground for terminating it, …”
[10] Sebagai contoh klaim wilayah dalam kasus
North Sea Continental Shelf, Judgment,
ICJ Reports 1969, hal 3, Paragrah 46, “…The apputenance of a given area, considered as an entity,
in no way governs the precise delimitation of its boundaries, any more than
uncertainty as to boundaries can affect territorial rights. There is for
instance no rule that the land frontiers of a State must be fully delimited and
defined, and often in various places and for long periods they are not...”
[11] United
Nations Convention on the Law of the Sea (1982), 1833 UNTS 3, 10 Desember
1982, came in to force on 16 November
1994, Pasal 76 “The continental shelf of
a costal State comprises the sea-bed and subsoil of the submarine areas that
extend beyond its territorial sea throughout the natural prolongation of its
land territory to the outer edge of the continental margin, or to a distance of
200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial
sea is measured where the outer edge of the continental margin does not extend
up to the distance.”
[12] Ibid. Pasal 55 “the exclusive economic zone is an area beyond and adjacent to the
territorial sea, subject to the specific legal regime established in this Part,
under which the rights and jurisdiction of the coastal Stat and the rights and
freedoms of other States are governend by the relevant provisions of his
Convention”.
[13] Ibid Pasal 57 “The exclusive economic zone shall not extend beyond 200 nautical miles
from the baselines from which the breadth of the territorial sea is measured.”
[14] Ibid. Pasal 74 “The delimitation of the exclusive economic zone between States with
opposite or adjacent coasts shall be effected by agreement on the basis of
international law, as referred to in Article 38 of the Statute of the
International Court of Justice (ICJ), in order to achieve equitable solution”.
[15] Dewi Tania Chaya Utami, “Perkembangan
Perundingan Penetapan Batas Zona Ekonomi Ekslusif RI-Filipina”, tersedia di
http://www.setkab.go.id, 20 Maret 2014 (diakses tanggal 24 Juni 2014).
[16] Munir Saiful, “Kesepakatan
Indonesia-Malaysia Soal Sengekta Tanjung Datu”, SindoNews.com, 28 Mei 2014,
tersedia di http://nasional.sindonews.com/read/867895/14/kesepakatan-indonesia-malaysia-soal-sengketa-tanjung-datu
diakses tanggal 27 Juni 2014.
[17] Tersedia di http://indocropcircles.wordpress.com/2014/05/23/gawat-dua-wilayah-indonesia-dijual-oknum-tni-ke-malaysia/
diakses tanggal 24 Juni 2014.
[18] Datinlitbang, “Implementasi Strategi
Pertahanan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia Di Propinsi Kalimantan Timur,
tersedia di http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/implementasi-strategi-pertahanan-wilayah-perbatasan-ri-malaysia-di-propinsi-kalimantan-timur
tanggal 27 Juni 2014.
[19] Diakses di website:
http://www.indomaritimeinstitute.org/?p=1341
[20] UNCLOS,
Op. Cit., dan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang “Pengesahan United Nations Convention on the Law of the
Sea (Konvensi Perserikataan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut),
Lembar Negara No. 76/1985, Tambahan Lembar Negara No. 3319.
[21] Anonim, “Permasalahan Kelautan Yang
Muncul Dalam Negara Kepulauan Indonesia”, tersedia di
http://www.sumbawanews.com/berita/opini/permasalahan-kelautan-yang-muncul-dalam
-negara-kepulauan-indonesia/pdf.html
[22] UNCLOS, Op. Cit., Pasal 47 (1) “An archipelagic State may draw straight
archipelagic baselines joining the outermost points of the outermost islands
and drying reefs of the archipelago provided that within such baselines are
included the main islands and an area in which the ratio of the area of the
water to the area of the land, including atolls, is between 1 to 1 and 9 to 1.”
Article 47 (2) “The length of such baselines shall not exceed 100 nautical
miles, except that up to 3 per cent of the total number of baselines enclosing
any archipelago may exceed that length, up to a maximum length of 125 nautical
miles.”
[23] Brigjen TNI Dody Usodo Hargo, “Jumlah
Pulau di Indonesia”, Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional, tersedia di
http://www.dkn.go.id, lihat juga Dr. U. Paonganan, R.M. Zulkipli, K. Agustina, Buku 9 Perspektif Menuju Masa Depan Maritim
Inodnesia.
[24] Tri Patmasari, Ka. Pusat PKPL,
korespondensi melalui email tertanggal 13 Juli 2014.
[25] Diakses dari http://sekilaspengalamanku.blogspot.com/2014/05/menengok-jumlah-pulau-di-pemerintah.html
pada tanggal 28 Juni 2014. Dari 92 pulau ada 12 pulau yang perlu diperhatikan
secara khusus yaitu: 1. Pulau Rondo
terletak di ujung barat laut Propinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD). Disini
terdapat Titik dasar TD 177. Pulau ini adalah pulau terluar di sebelah barat
wilayah Indonesia yang berbatasan dengan perairan India; 2. Pulau Berhala
terletak di perairan timur Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan
Malaysia. Di tempat ini terdapat Titik Dasar TD 184. Pulau ini menjadi sangat
penting karena menjadi pulau terluar Indonesia di Selat Malaka, salah satu
selat yang sangat ramai karena merupakan jalur pelayaran internasional; 3.
Pulau Nipa adalah salah satu pulau yang berbatasan langsung dengan
Singapura. Secara Administratif pulau ini masuk kedalam wilayah Kelurahan
Pemping Kecamatan Belakang Padang Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau. Pulau
Nipa ini tiba tiba menjadi terkenal karena beredarnya isu mengenai hilangnya/
tenggelamnya pulau ini atau hilangnya titik dasar yang ada di pulau tersebut.
Hal ini memicu anggapan bahwa luas wilayah Indonesia semakin sempit. Pada
kenyataanya, Pulau Nipa memang mengalami abrasi serius akibat penambangan pasir
laut di sekitarnya. Pasir-pasir ini kemudian dijual untuk reklamasi pantai
Singapura. Kondisi pulau yang berada di Selat Philip serta berbatasan langsung
dengan Singapura disebelah utaranya ini sangat rawan dan memprihatinkan.Pada
saat air pasang maka wilayah Pulau Nipa hanya terdiri dari Suar Nipa, beberapa
pohon bakau dan tanggul yang menahan terjadinya abrasi. Pulau Nipa merupakan
batas laut antara Indonesia dan Singapura sejak 1973, dimana terdapat Titik
Referensi (TR 190) yang menjadi dasar pengukuran dan penentuan media line
antara Indonesia dan Singapura. Hilangnya titik referensi ini dikhawatirkan
akan menggeser batas wilayah NKRI; 4. Pulau Sekatung merupakan pulau
terdepan Propinsi Kepulauan Riau di sebelah utara dan berhadapan langsung
dengan Laut Cina Selatan. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 030 yang menjadi
Titik Dasar dalam pengukuran dan penetapan batas Indonesia dengan Vietnam; 5.
Pulau Marore terletak di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan
langsung dengan Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 055.; 6.
Pulau Miangas terletak di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan
langsung dengan Pulau, Mindanau, Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD
056.; 7. Pulau Fani terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung
Propinsi Papua Barat, berbatasan langsung dengan Negara kepulauan Palau. Di
pulau ini terdapat Titik Dasar TD 066; 8. Pulau Fanildo terletak di
Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Papua Barat, berbatasan
langsung dengan Negara kepulauan Palau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD
072; 9. Pulau Bras terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung
Propinsi Irian Jaya Barat, berbatasan langsung dengan Negara Kepulauan Palau.
Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 072A; 10. Pulau Batek terletak di
Selat Ombai, Di pantai utara Nusa Tenggara Timur dan Oecussi Timor Leste. Di
pulau ini belum ada Titik Dasar; 11. Pulau Marampit di bagian utara
Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan Pulau Mindanau Filipina. Di
pulau ini terdapat Titik Dasar TD 057; 12. Pulau Dana terletak di bagian
selatan Propinsi Nusa Tenggara Timur, berbatasan langsung dengan Pulau Karang
Ashmore Australia. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 121.
[26] Susanto
Bambang, “Kajian Yuridis Permasalahan Batas Maritim Wilayah Laut Republik
Indonesia” (Suatu pandangan
TNI AL Bagi Pengamanan Batas Wilayah Laut RI), Indonesia Journal of
International Law.
[27] Ahmad Awal, “Menengok Jumlah Pulau di
Kota Batam”, tersedia di http://sekilaspengalamanku.blogspot.com/2014/05/menengok-jumlah-pulau-di-pemerintah.html
tanggal 28 Juni 2014.
[28] Sovereignty over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia),
Judgement, I.C.J. Reports 2002.
[30] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia,
1945, Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7, 15 Februari 1946, Pasal 33 (3).
[32] Souvereignty, Op. Cit., hlm.
667 , paragraph 88, lihat juga kasus, Frontier
Dispute (Burkina Faso/Republic of Mali), Judgement, I.C.J. Report 1986, hlm.
582, paragrap. 54; Kasikilil/Sedudu
Island (Botswana/Namibia), Judgement, I.C.H. Reports 1999 (II), hlm. 1098,
paragrap. 84
[33] Damrosch L.F., Henkin L., Pugh R.C.,
Schachter O., Smit. H., International Law
– Cases and Materials, ed. 4, 2001, West
Group, hlm. 317. “...The Growing insistence with which international law, ever
since the midle of the 18th century, has demanded that the occupation shall be
effective would be inconceivable, if effectiveness were required only for the
act of acquisition and not equally for the maintenance of the right. If the
effectiveness has above all been insisted on in regard to occupation, this is
because the question rarely arises in connection with territories in which
there is already an established order of things. Territorial sovereignty, as
has already been said, involves the exclusive right to display the activities
of a State”.
[35] Ibid. hlm. 678, paragraph
126, [...] the Judgment in the Frontier
Dispute (Burkina Faso/Republic of Mali) (I.C.J. Reports 1986, p. 587, para
63; lihat juga, Territorial Dipute (Libyan Arab Jamahiriya/Chad), I.C.J. Reports
1994, p. 38, paras. 75-76; Land and Maritime Boundary between Cameroon and
Nigeria (Camerron v. Nigeria: Equatorial Guinea intervening), Judgment, Merits,
I.C.J. Reports 2002, hal. 353-354, paragraph. 68.
[36] Concerning Territorial and Maritime Dispute Between
Nicaragua and Honduras in the Caribbean Sea (Nocaragua v. Honduras), I.C.J.
Reports 1999,
paras 168-208, “...a claim to sovereignty based not upon some particular act or
title such as a treaty of cession but merely upon continued display of
authority, involves two elements each of which must be shown to exist: the intentaion
and will to act as sovereign, and some actual exercise of display of such
authority.”
[37] Batubara Harmen, “Pertahanan dan
Pengamanan di Wilayah Perbatasan”, Opini Kompas, 23 July 2010.
[38] Suradnata Emaya, Hukum Dasar Geopolitik
dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan NKRI, Suara Bebas, Jakarta, 2005, hlm.
35.
[39] Anonym, “Urgensi Pengaturan Lalu Lintas
Ruang Udara Indonesia guna Memantapkan Stabilitas Keamanan Wilayah Udara
Nasional Dalam Rangka Memperkokoh Kedaulatan NKRI”, Jurnal Kajian Lemhannas RI,
Edisi 16, November 2013, hlm 72.
[40] Charter
of the United Nations (1945), 892 UNTS 119, Pasal 51 “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of
individual or collective self defence in an armed attack occurs against a
Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures
necessary to maintain international peace and security. Measures taken by
Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately
reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority
and responsibility of the Security Council under the present Charter to take
anytime such action as it deems necessary in order to maintain or restore
international peace and security.”
[41] Ahmad, “Ketentuan dan Penetapan Air Defence Identification Zone (ADIZ)”.
[42] Abdurrasyid Priyatna, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space
Treaty 1967, Binacipta, Bandung, 1977, hlm. 103, ”… in the absence of international agreement, that the territory of
every state extends upward as far into space as it is physically and
scientifically possible for any one state to control the regions of space
directly above it”.
[43] Flight
Information Region (FIR) adalah suatu ruang udara dengan batas-batas
tertentu yang telah ditentukan dimana pelayanan informasi penerbangan (flight information service) dan
pelayanan siaga (alerting service)
diberikan. FIR Indonesia yang dikelola oleh Singapure berada di wilayah
kepulauan Riau.
[44] Diakses dari http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/home_page
tanggal 30 Juni 2014. Yaitu Pulau Ararkula di Maluku, Pulau Asutubun di Maluku, Pulau
Batarkusu di Maluku, Pulau Batek di Nusa Tenggara Timur, Pulau Batubawang di
Sulawesi Utara, Pulau Batuberantai di kepulauan Riau, Pulau Batugoyang di
Maluku, Pulau Batumandi di Riau, Pulau Benggala di Aceh, Pulau Berhala di
Sumatera Utara, Pulau Bertuah di Lampung, Pulau Bongkil di Sulawesi Utara,
Pulau Damar di Kepulauan Riau, Pulau Dana di Nusa Tenggara Timur, Pulau Deli di
Banten, Pulau Dolangan di Sulawesi Tengah, Pulau Enu di Maluku, Pulau Fani di
Papua Barat, Pulau Fanildo di Papua, Pulau Gosong Makasar di Kalimantan Utara,
Pulau Intata di Sulawesi Utara, Pulau Karang di Maluku, Pulau Karaweira di
Maluku, Kepala di Kepulauan Riau, Pulau Kultubai Selatan di Maluku, Pulau
Kultubai Utara di Maluku, Pulau Laag di Papua, Pulau Manggudu di Nusa tenggara
Timur, Pulau Mangkai di Kepulauan Riau, Pulau Mega di Bengkulu, Pulau Miossu di
Papua Barat, Pulau Moff di Papua Barat, Pulau Ndana di Nusa Tenggara Timur,
Pulau Ngekel di Jawa Timur, Pulau Niau di Sumatera Barat, Pulau Nipa di
Kepulauan Riau, Pulau Nusabarong di Jawa Timur, Pulau Nusamanuk di Jawa Barat,
Pulau Panikan di Jawa Timur, Pulau Putri di Kepulauan Riau, Pulau Raya di Aceh,
Pulau Rondo di Aceh, Pulau Rusa di Aceh, Pulau Salando di Sulawesi Tengah,
Pulau Salaut Besar di Aceh, Pulau Sambit di Kalimantan Timur, Pulau Sebetul di
Kepulauan Riau, Pulau Sekatung di Kepulauan Riau, Pulau Semiun di Kepulauan
Riau, Pulau Sentut di Kepulauan Riau, Pulau Senua di Kepulauan Riau, Pulau
Sepatang di Nusa Tenggara Barat, Pulau Sibarubaru di Sumatera Barat, Pulau
Simeulue Cut di Aceh, Pulau Tokongbelayar di Kepulauan Riau, Pulau Tokongboro di
Kepulauan Riau, Pulau Tokonghiu Kecil di Kepulauan Riau, Pulau Tokongmalangbiru
di Kepulauan Riau, Pulau Tokongmalangbiru di Kepulauan Riau, Pulau Tokongnanas
di Kepulauan Riau, Pulau Wunga di Sumatera Utara, dan Pulau Yiew di Maluku
utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar